Menu
in ,

Reformasi Perpajakan Optimalkan Penerimaan dan Rasio

Pajak.com, Jakarta – Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal memastikan, saat ini pemerintah terus melakukan reformasi perpajakan untuk mengoptimalkan penerimaan dan rasio pajak (tax ratio) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang beberapa tahun terakhir mengalami tren penurunan. Pada 2021, rasio pajak Indonesia berada di level 9,11 persen terhadap PDB.

“Secara umum, tax ratio kita memang mengalami tekanan yang cukup besar sejak 2011. Dari waktu ke waktu, terlihat tren penurunan yang relatif stabil, walaupun secara nominalnya tidak banyak,” kata Yon Arsal dalam acara Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertajuk Pemulihan Ekonomi di Tengah Ketidakpastian Global, yang digelar secara virtual, (25/7).

Ia menjelaskan, secara teoritis, struktur tax gap terdiri dari policy gap dan compliance gap. Dari sisi policy gap, terdapat faktor expenditure gap dalam bentuk belanja perpajakan. Misalnya, insentif pajak untuk produk kebutuhan pokok, efficiency gap, atau adanya aturan yang belum optimal. Sementara compliance gap lebih dipengaruhi faktor administrasi otoritas pajak.

“Dari dua sisi ini, kita lihat bahwa tax ratio kita masih cukup menantang. Di sisi satu, kita melihat ada kenaikan di 2021 (dari 8,33 persen di 2022 menjadi 9,11 persen di 2021). Insyaallah, nanti di 2022 kita akan terus memerlihatkan peningkatan yang signifikan. Kemudian di sisi lain, tentu ada berbagai pilihan kebijakan yang kita ambil dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga tetap memerhatikan penerimaan yang sustainable,” ungkap Yon.

Sekilas mengulas, berdasarkan data yang dihimpun Direktorat Jenderal Pajak (DJP), rasio pajak di 2014 mencapai 13,7 persen terhadap PDB, lalu menurun menjadi 10,7 persen di tahun 2017. Kemudian, pandemi COVID-19 mengakibatkan rasio pajak semakin terpuruk menjadi 8,33 persen di 2020. Di 2021, rasio pajak naik menjadi 9,11 persen. Namun, level rasio pajak Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Misalnya, rasio pajak Malaysia berada di kisaran 14 persen, Filipina 13,67 persen, Singapura 14,29 persen, Kamboja 15,3 persen.

Oleh sebab itu, reformasi pajak harus terus dilakukan pemerintah. Salah satunya, dari sisi regulasi melalui implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Sistem Perpajakan (UU HPP) untuk mendorong sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel. Yon memastikan, UU HPP akan menciptakan efisiensi dalam menghimpun penerimaan pajak. Di sisi lain, pajak tidak menciptakan distorsi yang berlebihan dalam perekonomian; serta mampu beradaptasi dengan perubahan struktur, teknologi dan aktivitas dunia usaha.

“Karena sistem perpajakan harus efektif sebagai instrumen kebijakan dan mampu menciptakan keadilan, administrasi perpajakan yang mudah, simpel, dan menjamin kepastian hukum, serta penerimaan perpajakan harus memadai, terjaga, dan terus berkelanjutan,” jelas Yon.

Salah satu implementasi UU HPP adalah penetapan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Integrasi ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Adapun penetapan NIK sebagai NPWP telah diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 112/PMK.03/202.

“Karena memang salah satu dari empat pilar kepatuhan pajak itu adalah kepatuhan para Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri mereka. Penggunaan NIK sebagai NPWP akan memudahkan para Wajib Pajak secara administratif, terutama soal kepemilikan nomor yang tunggal. Jadi, para Wajib Pajak hanya akan punya satu nomor, sehingga mereka cukup melakukan validasi melalui DJP secara on-line. Kenapa (perlu aktivasi)? Karena saat seseorang memiliki penghasilan di atas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), maka NIK-nya tinggal diaktivasi sebagai NPWP,” jelas Yon.

Selain itu, ia menyebutkan, tiga pilar kepatuhan pajak lainnya adalah kepatuhan dalam melakukan pelaporan, kepatuhan dalam melakukan pembayaran, dan kebenaran dari pelaporan yang dilaporkan oleh Wajib Pajak. Untuk menguji tiga pilar kepatuhan ini, Yon memastikan, pemerintah juga melakukan pertukaran data dan informasi dengan sejumlah instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP); serta melakukan menerima data dan informasi dari otoritas pajak negara lain melalui program Automatic Exchange of Information (AEoI).

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version