Menu
in ,

PPN Jual Beli Kendaraan Bekas Jadi 1,1 Persen

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memastikan telah menyederhanakan mekanisme tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk jual-beli kendaraan bermotor bekas melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 65 tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan kendaraan Bermotor Bekas. PPN jual beli kendaraan bekas perhitungan pajaknya disederhanakan dengan mekanisme, yaitu sebesar 10 persen dari total tarif PPN 11 persen atau menjadi 1,1 persen dari harga jual.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP Neilmaldrin Noor menjelaskan, kendaraan bermotor bekas ini bukan merupakan pengaturan jenis pajak baru, melainkan sudah dikenakan sejak tahun 2000 melalui PMK Nomor 79 Tahun 2010 tentang Pedoman Perhitungan Pengkreditan Pajak masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Kegiatan Usaha Tertentu.

“Pengaturan dalam PMK-65/PMK.03/2022 merupakan penyesuaian karena adanya perubahan tarif PPN yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Penetapan PMK ini semata-mata untuk menyederhanakan mekanisme dan menyesuaikan perubahan tarif PPN atas transaksi penyerahan kendaraan motor bekas. Kita sederhanakan dari ketentuan lama untuk kendaraan bermotor bekas agar dikenai PPN dengan besaran tertentu,” jelas Neil dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, (12/4/2022).

Adapun ketentuan pokok terkait pengenaan PPN atas transaksi penjualan kendaraan motor bekas berdasarkan PMK-65/PMK.03/2022 adalah sebagai berikut:

  1. Dasar hukum pembentukan dengan Pasal 16G Huruf I UU PPN.
  2. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memungut PPN merupakan PKP pedagang kendaraan bermotor bekas yang melakukan kegiatan usaha penyerahan kendaraan bermotor bekas, tidak termasuk penyerahan aktiva Pasal 16D UU PPN.

“Berdasarkan aturan tersebut, jual beli kendaraan bermotor bekas yang dilakukan oleh orang pribadi/individu, yang bukan Pengusaha Kena Pajak, dan penjualan/pembelian dilakukan bukan dalam rangka kegiatan usaha, tidak perlu memungut PPN,” jelas Neil.

Sebagai bentuk penyesuaian terhadap tarif baru ini DJP telah menyesuaikan juga aplikasi layanan perpajakan, meliputi e-Faktur Desktop, e-Faktur Host to Host, e-Faktur Web, VAT Refund, dan e-Nofa Online.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan, kenaikan PPN menjadi 11 persen akan menciptakan rezim perpajakan yang lebih adil. Kenaikan PPN juga dipastikan tidak akan memberatkan masyarakat, khususnya bagi masyarakat menengah ke bawah. Bahkan justru akan meningkatkan bantalan ekonomi bagi masyarakat rentan.

“Kita butuh sebuah rezim pajak yang adil dan kuat. Ini justru bukan buat nyusahin rakyat, tetapi untuk membangun rakyat juga. Hasil dari penerimaan pajak akan digunakan untuk pembangunan yang manfaatnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat. Misalnya, seperti sekolah, rumah sakit, subsidi listrik, dan subsidi energi. Kita itu membangun Indonesia itu berkelanjutan, sampai nanti anak cucu kita. Karena ke depan, kita butuh pendidikan yang makin baik, kesehatan yang baik. Itu semua bisa dicapai setahap demi setahap kalau fondasinya kuat,” ungkap Sri Mulyani.

Selain itu, kenaikan PPN 11 persen juga bertujuan untuk menyehatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sebelumnya memiliki beban cukup berat dalam membantu penanganan pandemi COVID-19 di dua tahun belakang.

“APBN bekerja cukup berat, jadi kita lihat mana yang bisa ruangnya, dimana Indonesia bisa sejajar dengan dunia tapi kita tidak berlebihan. Rata-rata PPN negara di dunia itu 15 persen, tapi kita ambil tengahnya,” kata Sri Mulyani.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version