Menu
in ,

Kenaikan PPN Tak Berpengaruh Signifikan Terhadap Inflasi

Kenaikan PPN Tak Berpengaruh

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – PT Bahana Sekuritas merilis riset yang menyimpulkan, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak akan berpengaruh signifikan terhadap inflasi tahun 2022, yakni menambah sekitar 0,2 persen–0,3 persen. Riset dilakukan oleh ekonom Bahana Sekuritas yang terdiri dari Putera Satria Sambijantoro, Rami Ramdana, dan Drewya Cinantyan.

“Ketentuan PPN ini tidak akan berdampak besar terhadap inflasi. Hal tersebut karena pemerintah tidak mengenakan PPN terhadap barang kebutuhan pokok, seperti beras, buah-buahan, sayuran, serta layanan restoran. Kami memperkirakan tambahan 0,2 persen sampai 0,3 persen inflasi tahun ini dari pengenaan tarif PPN baru sebesar 11 persen dari sebelumnya 10 persen,” ungkap ketiga ekonom itu dalam risetnya, yang diterima Pajak.com, (8/4).

Putera, Rami, dan Drewya menilai, terbitnya 14 peraturan menteri keuangan (PMK) tentang PPN merupakan langkah yang agresif dalam memperluas barang kena pajak. Selain itu, beberapa PMK juga menjadi sinyal bahwa regulasi pajak digital akan menjadi lebih jelas dan komprehensif.

“Pelaku usaha di sejumlah sektor berpotensi akan menyerap kenaikan PPN dengan tidak membebankannya kepada konsumen. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga kemampuan konsumsi masyarakat. Untuk bisnis tertentu, seperti layanan fintech atau pengiriman paket, kami tidak berpikir bahwa kenaikan PPN akan sepenuhnya dibebankan kepada konsumen, mengingat sensitivitas harga yang tinggi di sana,” tulis ketiga ekonom itu.

Bahana Sekuritas memperkirakan, kenaikan PPN menjadi 11 persen berpotensi menambah penerimaan hingga Rp 60 triliun. Pasalnya, saat ini PPN dalam negeri telah berkontribusi sebesar 30 persen dari pendapatan pajak Indonesia senilai Rp 1.500 triliun.

“Perkiraan awal kami menunjukkan bahwa kenaikan PPN dapat menghasilkan Rp 60 triliun atau 0,3 persen dari PDB (produk domestik bruto) pendapatan pajak tambahan. Pemerintah melakukan langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya, seperti mengenakan pajak pada sektor ekonomi baru, dari fintech, kripto, hingga layanan pengiriman paket oleh e-commerce. Artinya, kenaikan PPN menargetkan sektor-sektor dengan pertumbuhan tinggi, seperti komoditas dan transaksi digital, yang menyiratkan potensi pendapatan yang kuat pada tahun-tahun mendatang,” jelas riset itu.

Seperti diketahui, regulasi PPN fintech tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Dalam PMK ini  penyelenggara fintech yang dikenakan PPN meliputi penyedia jasa pembayaran (payment), penyelenggara penyelesaian transaksi investasi, penghimpunan modal (crowdfunding), layanan pinjam meminjam, pengelolaan investasi, penyediaan produk asuransi on-line, pendukung pasar, serta layanan pendukung keuangan digital, dan aktivitas jasa keuangan lainnya.

Penyedia jasa pembayaran lainnya, berupa uang elektronik (e-money), dompet elektronik (e-wallet), gerbang pembayaran (payment gateway), layanan switching, kliring, penyelesaian akhir, dan transfer dana. Adapun, pendukung keuangan digital dan aktivitas jasa keuangan lainnya, antara lain berupa e-wakaf, e-zakat, robo advise, dan produk berbasis aplikasi blockchain

Kemudian, terbit pula PMK Nomor 68/PMK/03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. PPN yang harus dipungut dan disetor sebesar 10 persen dari tarif PPN umum sebesar 10 persen atau 1,1 persen dikali dengan nilai berupa uang atas aset kripto yang diterima penambang. Sementara, penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik bukan pedagang fisik aset kripto dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 bersifat final yang dipungut sebesar 0,2 persen. Bagi penambang, pengenaan PPh Pasal 22 bersifat final dengan tarif 0,1 persen.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version