Menu
in ,

Kemendagri Setuju Hapus Pajak Kendaraan Progresif

Hapus Pajak Kendaraan Progresif

FOTO: IST

Kemendagri Setuju Hapus Pajak Kendaraan Progresif

Pajak.com, Jakarta – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) setuju dengan rencana Tim Pembina Samsat Nasional dan pemerintah daerah (pemda) yang ingin hapus Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) progresif dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor atas Kendaraan Bekas (BBN 2).

Sekilas mengulas, apa itu PKB progresif atau pajak progresif?

Pajak progresif merupakan suatu pungutan dengan persentase tarif tertentu yang didasarkan pada jumlah atau kuantitas objek pajak beserta harga atau nilai objek.

 

Tarif atas pungutan pajak ini akan semakin meningkat apabila dinilai dari semakin banyaknya jumlah objek pajak dan kenaikan nilai objek pajak. Pajak progresif diterapkan pada kendaraan bermotor yang berjumlah lebih dari satu atas kesamaan nama pemilik dan kesamaan alamat tempat tinggal dari pemilik yang bersangkutan.

Besarnya biaya atas pajak yang dibayarkan akan mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah kendaraan yang dimiliki, sehingga untuk kendaraan bermotor pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya akan dikenakan tarif yang berbeda-beda.

“Kami sudah sampaikan ke beberapa gubernur, pada prinsipnya setuju. Pemerintah daerah dapat menghapus pajak progresif kendaraan bermotor dan BBN 2. Tujuan dihapuskannya BBN 2 adalah untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat mengurus administrasi balik nama kendaraan yang telah membeli kendaraan bermotor dari pihak lain. Jika BBN 2 dihapuskan, dampaknya juga tidak terlalu signifikan terhadap pendapatan daerah karena tarifnya hanya satu persen dari NJKB (nilai jual kendaraan bermotor),” ungkap Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Agus Fatoni dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengelolaan Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2022, yang dituangkan dalam keterangan tertulis (14/8).

Ia menilai, saat ini masih banyak masyarakat yang tidak segera melakukan balik nama terhadap kendaraan bekas yang dibeli.

Hal ini mengakibatkan pemda tidak mempunyai data kepemilikan kendaraan bermotor yang akurat. Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD) Pasal 12 Ayat (1) telah menyebutkan bahwa objek Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) hanya untuk penyerahan pertama atas kendaraan bermotor.

“Dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD juga sudah tidak mengenal penyerahan kedua, artinya untuk BBN 2 ini sudah dibebaskan atau tidak dikenakan tarif. Meski ketentuan PKB dan BBNKB menurut undang-undang berlaku tiga tahun sejak ditetapkan, pemerintah provinsi dapat segera melakukan pembebasan. Karena pemerintah provinsi mempunyai kewenangan untuk memberikan pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak,” jelas Fatoni.

Ia berharap, penghapusan PKB progresif maupun BBN 2 akan meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak. Secara simultan, strategi ini dilakukan untuk menertibkan data kendaraan bermotor.

“Selama ini pemda memberikan keringanan berupa pemutihan, namun justru tidak efektif mengingat masyarakat cenderung menunda pembayaran pajak karena menunggu pemutihan. Masyarakat yang mempunyai kendaraan lebih dari satu biasanya cenderung tidak mendaftarkan kepemilikan tersebut atas namanya, tapi menggunakan nama orang lain (untuk menghindari pajak progresif),” ungkap Fatoni.

Kemendagri juga mendorong seluruh pemda untuk memiliki aturan soal pajak dan retribusi yang seirama dan serentak dengan UU HKPD. Hal ini supaya tercipta pemerataan pendapatan daerah.

“Sesuai dengan UU HKPD, seluruh jenis pajak dan retribusi nantinya ditetapkan dalam satu peraturan daerah perda (peraturan daerah). Karena itu, seluruh pemda diharapkan segera menyesuaikan seluruh perda terkait pajak dan retribusi daerah menjadi satu perda. Kalau kebijakan serentak, terjadi pemerataan kesejahteraan dan perekonomian daerah. keseimbangan fiskal pemerintah pusat dan daerah. Sehingga menjadi dasar pelaksanaan pemungutan sesuai dengan potensi di masing-masing daerah,” ujar Fatoni.

Kebijakan dalam UU HKPD juga diyakini bisa membuat pajak retribusi sebagai sumber pendanaan dan tata kelola keuangan daerah menjadi lebih efisien, efektif, transparan, dan akuntabel. UU HKPD didesain agar mampu mengoptimalkan realisasi pendapatan maupun belanja daerah.

“Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga sudah menyiapkan pembinaan dan pengawasan untuk pengaplikasian kebijakan baru ini (UU HKPD). Salah satu pembinaan dengan membuat seminar dengan menghadirkan ahli yang kompeten. Sengaja kita hadirkan narasumber yang ahli dan menguasai di bidangnya, agar realisasi pendapatan dan belanja daerah bisa jauh lebih baik lagi,” jelas Fatoni.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version