Menu
in ,

IMF Dorong Simplifikasi Kesepakatan Pajak Global

Pajak.com, Jakarta – The International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional mendorong forum G20 dan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) untuk dapat menghasilkan kesepakatan regulasi pajak global yang lebih simpel. Hal itu bertujuan supaya aturan dapat diterapkan oleh seluruh negara dan mampu memberi manfaat.

Forum G20 dan OECD tengah berada pada tahap pembahasan kesepakatan regulasi pajak global. Dalam pertemuan terakhir, terdapat 132 negara dan yurisdiksi yang mendukung perjanjian dua pilar:

Pertama, kesepakatan mendorong perusahaan multinasional membayar pajak di tempat mereka beroperasi.

Kedua, mendorong kesepakatan terkait dengan tarif pajak minimum, setidaknya 15 persen. kesepakatan dua pilar itu merupakan buah dari pertemuan forum pada 8-9 Oktober 2020 lalu, yang membahas tentang rencana aksi base erosion profit shifting (BEPS), salah satunya mengenai aturan pemajakan digital.

Namun, menurut Wakil Direktur Pelaksana Pertama IMF Geoffrey Okamoto, sekitar sepertiga dari 190 negara anggota IMF belum menandatangani kesepakatan dua pilar itu. Menurutnya, kekhawatiran utama bagi beberapa negara adalah konsensus perpajakan nantinya akan terlalu rumit bagi negara anggota, khususnya bagi negara dengan aturan pemajakan yang belum mapan.

Dengan demikian, sangat perlu bagi IMF mendorong forum global untuk dapat meracik dan memutuskan aturan yang relatif sederhana. Terpenting pihaknya menginginkan agar sistem perpajakan dapat berfungsi untuk semua anggota IMF.

“Masih ada ruang untuk kedua, pilar satu dan pilar dua untuk disederhanakan. Masih ada perhatian yang perlu diberikan untuk menjaga ini sesederhana mungkin untuk menyelesaikan pekerjaan, sehingga mudah dan efisien untuk dikelola,” jelas Okamoto setelah bertemu para menteri keuangan dunia di Venesia, seperti yang dilansir Bloomberg, pada Minggu (11/7).

Menurutnya, aturan perpajakan yang sederhana akan membantu negara anggota untuk cepat pulih dari dampak pandemi. Oleh karena itu, para menteri di forum G20 membahas pula mengenai ketimpangan dalam pemulihan ekonomi di seluruh negara.

Selain itu, menurut Okamoto, kabar baik dari pertemuan itu, antara lain bank sentral memandang bahwa inflasi di beberapa negara maju hanya terjadi sementara. Sehingga tidak akan berdampak siginifikan terhadap kondisi fiskal di negara lainnya.

“Ekonomi negara maju mungkin perlu memperketat kebijakan moneter sebelum banyak pasar dan ekonomi berkembang menciptakan efek limpahan potensial. IMF akan siap membantu negara-negara jika kondisi keuangan terganggu,” jelasnya.

Sebagai informasi, seharusnya konsensus global khusus rencana BEPS mengenai pajak digital dapat rampung pada akhir Desember 2020 lalu, namun harus tertunda akibat pandemi Covid-19. Forum global G20 dan OECD juga memiliki 14 rencana aksi lainnya, yaitu menetralisasi hybrid mismatch arrangement; ketentuan controlled foreign companies (CFC); membatasi biaya bunga pinjaman afiliasi; menangkal harmful tax practice; menutup celah penyalahgunaan tax treaty; mencegah penghindaran status BUT (bentuk usaha tetap); transfer pricing dan pembentukan nilai; analisis data BEPS; mandatory disclosure rule; tiga pendekatan dokumentasi transfer pricing; menyelesaikan sengketa dengan mutual agreement; instrumen multilateral proyek BEPS.

Indonesia sebagai angggota dari Inclusive Framework on BEPS tentu mengambil langkah menunggu. Seperti diketahui, banyak negara anggota yang menetapkan aturan perpajakan domestik tanpa menunggu hasil konsensus, salah satunya India.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, Indonesia tidak akan membuat aturan sendiri, khususnya terkait pajak digital. Langkah sepihak akan menimbulkan risiko retaliasi atau perlakuan balasan dari negara yang merasa dirugikan.

Padahal, menurut Sri Mulyani, pemerintah telah menyiapkan regulasi melalui Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020. Dalam beleid itu, pemerintah mengatur tentang pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri (SPLN) dan memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan atau significant economic presence (SEP).

“Pemerintah menilai pemajakan atas kegiatan ekonomi digital akan lebih adil bagi semua negara bila dilakukan melalui konsensus. Karena setiap negara yang menjadi tempat pemasaran memiliki hak pemajakan yang ditentukan berdasarkan minimum income tax yang bisa dipungut,” jelas Sri Mulyani.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version