Menu
in ,

Penerimaan Pajak Februari 2022 Rp 199,4 T

Penerimaan Pajak Februari 2022

FOTO: Biro KLI Kemenkeu 

Pajak.com, Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menditor catat, kinerja penerimaan pajak hingga Februari 2022 mencapai Rp 199,4 triliun atau meningkat 36,5 persen dibandingkan pada periode yang sama di tahun lalu. Kinerja penerimaan pajak itu mencapai 15,8 persen dari target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 sebesar Rp 1.265 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kinerja penerimaan pajak pada dua bulan pertama tahun 2022 ditopang oleh pemulihan ekonomi yang tecermin dari Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur yang masih ekspansif, harga komoditas, serta kinerja ekspor dan impor yang kian positif.

“Walaupun pertumbuhan penerimaan pajak Februari secara tahunan mengalami penurunan dibandingkan pertumbuhan penerimaan pajak Januari yang mencapai 59,39 persen, namun ini tidak akan berlangsung seperti ini seterusnya karena ada dukungan pemulihan ekonomi semakin kuat. Kita lihat di sini data penerimaan pajak menggambarkan cerita positif yang terjadi pada awal 2022 dan tren ini diyakini akan terus menguat seiring geliat kegiatan ekonomi masyarakat yang meningkat,” ungkap Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa (Kinerja dan Fakta), yang disiarkan secara virtual, (28/3).

Ia mengelaborasi, kinerja penerimaan Februari 2022 bersumber dari, pertama Pajak Penghasilan (PPh) nonmigas sebesar Rp 110,2 triliun atau 17,4 persen dari target dalam APBN 2022. Kedua, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) sebesar Rp 74,2 triliun atau 13,4 persen. Ketiga, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya sebesar Rp 1,5 triliun atau 5,1 persen. Keempat, PPh migas sebesar Rp 13,5 triliun atau 28,6 persen.

Kendati demikian, Sri Mulyani mengingatkan, pencapaian positif selama dua bulan di awal 2022 perlu juga diwaspadai. Pasalnya, masih ada ancaman global, seperti aksi operasi militer khusus yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina.  Sebaliknya, ada potensi kenaikan penerimaan di bulan selanjutnya, seiring dengan menurunnya angka positif COVID-19 dan pemulihan ekonomi.

“Pertumbuhan penerimaan yang sangat tinggi pada awal tahun ini bisa jadi karena low based effect. Nah, normalisasi akan terjadi pada bulan-bulan berikutnya karena basis penerimaan di tahun 2021 terus meningkat hingga ke akhir tahun mendekati level prapandemi,” kata Sri Mulyani.

Di sisi lain, pemerintah akan terus mengoptimalkan potensi penerimaan pajak dari kenaikan harga komoditas.

“Penerimaan tahun 2022 dan selanjutnya juga akan didukung implementasi UU HPP (Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan) yang mendorong peningkatan kepatuhan dan keadilan serta perluasan basis penerimaan pajak,” tambah Sri Mulyani.

Dengan pencapaian penerimaan pajak ini, APBN Februari 2022 mencatatkan surplus sebesar 0,11 persen atau sebesar Rp 19,7 triliun. Selain itu, surplus juga disumbang oleh kinerja bea dan cukai senilai Rp 56,7 triliun atau tumbuh 59,3 persen dibandingkan tahun lalu sebesar Rp 35,6 triliun. Kemudian, ada pula kontribusi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 46,2 triliun. Tahun lalu dalam periode yang sama, PNBP tercatat Rp 37,7 triliun—terjadi kenaikan 22,5 persen.

“Total keseimbangan kita maksudnya adalah surplus Rp 19,7 triliun dibandingkan tahun lalu yang defisit Rp 63,3 triliun. Ini juga pembalikan yang luar biasa. Dari sisi pendapatan negara, terjadi pertumbuhan 37,7 persen pada Februari 2022 dibandingkan periode yang sama 2021. Jadi pendapatan negara menggambarkan pemulihan ekonomi yang menggeliat cukup kuat dan tadi across beberapa sektor, jenis pajak dan penerimaan. Kemudian harga komoditas dunia yang melonjak yang memberikan kontribusi. Dua hal ini menjadi faktor utama dari sisi kontribusi pendapatan,” jelas Sri Mulyani.

Kendati demikian, ia menilai, kinerja dari sisi belanja terlihat masih belum optimal. Total belanja baru mencapai Rp 282,7 triliun, dibandingkan tahun lalu sebesar Rp 282,9 triliun—terjadi penurunan sebesar 0,1 persen.

Sri Mulyani memerinci, belanja itu meliputi pertama, belanja pemerintah pusat tercatat Rp 172,2 triliun, lebih rendah dari tahun lalu Rp 109,7 atau terkontraksi 4,2 persen. Kedua, belanja kementerian/lembaga (K/L) mengalami penurunan hingga 19 persen. Penurunan ini disebabkan belanja untuk kementerian kesehatan sebesar Rp 78,6 triliun, dibandingkan tahun lalu yang mencapai Rp 97 triliun. Ketiga, belanja non-K/L yang didominasi untuk subsidi barang, baik Liquefied Petroleum Gas (LPG) dan listrik sebesar Rp 93,6 triliun atau tumbuh 13,2 triliun dibandingkan tahun Rp 82,7 triliun. Keempat, Transfer Ke Daerah dan Dana desa (TKDD) Rp 110,5 triliun atau 7,1 persen lebih tinggi dari tahun lalu.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version