Menu
in ,

Ekonom: Optimalkan Pajak Pertambangan dan Konstruksi

Pajak.com, Jakarta – Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri mengusulkan agar pemerintah mampu mengoptimalkan pajak dari sektor pertambangan, konstruksi dan real estate. Sebab, penerimaan pajak dari kedua sektor itu tidak setara dengan kontribusinya kepada produk domestik bruto.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pertambangan berkontribusi 6,6 persen terhadap PDB, sementara kontribusi terhadap penerimaan pajak hanya 4,3 persen. Kemudian, sektor konstruksi dan real estate memiliki kontribusi 13,6 persen terhadap PDB, sedangkan sumbangan pajaknya hanya 6,5 persen.

“Kalau kita melihat tax coefficient (persentase penerimaan pajak dibagi dengan persentase sumbangan kepada PDB) untuk kedua sektor tersebut, maka hasil yang didapatkan adalah 0,66 untuk sektor pertambangan dan 0,48 persen untuk sektor konstruksi dan real estate,” kata Faisal, dalam webinar yang diselenggaran INDEF bertajuk Urgensi Reformasi Fiskal di Tengah Pandemi, pada (4/7).

Kinerja itu lebih kecil dari sektor lain, seperti jasa keuangan dan asuransi; perdagangan; industri manufaktur; transportasi dan pergudangan. Semua sektor ini tercatat memiliki tax coefficient di atas tingkat 1.

“Jadi persen penerimaan pajak dibagi persen penerimaan PDB dapat tax coefficient. Nah buru nih pertambangan, konstruksi, ini banyak potensi nilai pajak. Start dari sana,” jelas dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini.

Faisal mengungkapkan, koefisien pajak sektor pertambangan menurun dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Pada tahun 2012-2016, rata-rata tingkatnya berada di 1,4, sedangkan sekarang berada di level 0,66.

“Jadi ada yang aneh di pertambangan, pada 2012-2016, koefisiennya masih di atas 1, sekarang 0,66. Nah ini gara-gara smelter nikel dikasih fasilitas, luar biasa di surga saja enggak seperti itu fasilitas. Jadi kita super-surga,” kata Alumnus Universitas Vanderbilt Amerika ini.

Oleh karena itu, Faisal mengusulkan supaya pemerintah dapat mengubah pengenaan pajak final perusahaan pertambangan atau konstruksi dengan skema pajak penghasilan (PPh)—yang berlaku juga pada sektor lainnya.

“Nah, berlakukan seperti sektor lain, ya bayar PPh 22 persen kalau sekarang, tahun depan 20 persen dari keuntungan. Jangan berlakukan pajak final. Kan, perusahaan konstruksi sebagian besar juga BUMN (Badan Usaha Milik Negara) lebih gampang. Jadi, konstruksi ini nomor empat sumbangannya ke PDB. Jadi jangan ambil yang cacing kremi, ambil yang dagingnya tebal. Kemudian, hapus tax holiday untuk khususnya pertambangan dan industri yang berlokasi di KEK (Kawasan Ekonomi Khusus)—berakitan dengan konstruksi,” jelasnya.

Faisal menekankan, optimalisasi penerimaan pajak dari sektor-sektor itu harus dilakukan demi normalisasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dengan mengembalikan defisit di bawah 3 persen.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version