Menu
in ,

Begini Skema Tarif PPN yang Tengah Dikaji Pemerintah

Pajak.com, Jakarta – Wacana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terus ramai diperbincangkan belakangan ini. Terbaru, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengatakan bahwa pemerintah tengah menggodok skema tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berdasarkan tolak ukur tren pemajakan global.

Ia menyebut, paling tidak ada dua model pengenaan PPN atau VAT yang diterapkan oleh masing-masing yurisdiksi di dunia, yakni single tariff dan multi tariff.

“Indonesia saat ini menggunakan PPN dalam negeri 10 persen, kemudian tarif ekspor 0 persen. Ini masih single (tariff),” kata Suryo saat media briefing di Media Center, Kantor Pusat DJP, Jakarta, Senin sore (10/5).

Skema PPN itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang PPN dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), yang menyebut bahwa tarif PPN berada di rentang 5 persen hingga 15 persen.

Di sisi lain, Suryo juga menjelaskan bahwa beberapa negara sudah menerapkan multi tariff seperti Italia, Spanyol, dan Prancis. Artinya, pada barang regular dan barang mewah tarif PPN akan dikenakan lebih tinggi. Sebaliknya, pengenaan tarif akan lebih rendah untuk barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, untuk bisa menerapkan mekanisme ini, pemerintah harus merevisi UU 46 Tahun 2009.

“Jadi, ada beberapa negara yang menerapkan VAT sebagai pajak konsumsi di dalam daerah pabeanannya. Benchmark seperti ini yang coba kami gunakan untuk kemudian kami diskusikan,” imbuhnya.

Selain menimbang besaran tarif yang berlaku, Suryo juga menjelaskan opsi jumlah pengecualian yang diberikan di beberapa negara terhadap barang dan jasa tertentu. Di Singapura misalnya, PPN yang dikecualikan adalah properti tempat tinggal, logam berharga, serta barang untuk keperluan investasi.

Sementara di Thailand, pengenaan pajak yang dikecualikan adalah barang pertanian, peternakan, perikanan, koran, serta pupuk. Ini berbeda dengan Indonesia, karena pengecualian PPN yang berlaku cenderung lebih banyak. Ditambah, fasilitas PPN yang diberikan juga sangat beragam.

Suryo mengatakan, hal ini berpengaruh terhadap kinerja penerimaan PPN Indonesia bila dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara. Sebagai contoh, kinerja PPN Indonesia berdasarkan c-efficiency ratio tercatat 63,58 persen; lebih rendah bila dibandingkan dengan Singapura yang mencapai 92,69 persen, dan bahkan Thailand mencapai 113,83 persen.

Ia pun berkesimpulan, pandemi Covid-19 berdampak luar biasa terhadap penerimaan negara—khususnya pajak. Terpenting, bagaimana pemerintah bisa menjaga keberlangsungan atas pertumbuhan ekonomi, keberlangsungan fiskal, dan menjaga inequality termasuk pengangguran.

“Untuk itu, inilah yang menjadi bahan diskusi kami tentang Pajak Pertambahan Nilai. Seberapa besar tarifnya, skema tarif, dan pemajakannya seperti apa. Ini yang hingga saat ini masih terus kami diskusikan bersama. Yang jelas, negara perlu tambahan penerimaan untuk pengeluaran yang betul-betul dibutuhkan untuk kesehatan masyarakat dan perekonomian,” pungkasnya.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version