Menu
in ,

“Tips” Memilih Program JHT di DPLK

Pajak.com, Jakarta – Polemik iuran Jaminan Hari Tua (JHT) semakin mencuat. Hal itu berawal dari terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 yang menetapkan pencairan dana JHT pada usia 56 tahun. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menjelaskan, kebijakan itu diberlakukan agar pekerja dapat hidup lebih baik pada usia senja. Di sisi lain, pekerja merasa aturan ini memberatkan karena kondisi COVID-19 masih berpotensi mengakibatkan PHK alias pemutusan hubungan kerja.

Sebenarnya, selain program JHT yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan, pekerja juga dapat memilih program jaminan hari tua secara mandiri, salah satunya melalui DPLK atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan. DPLK merupakan dana pensiun yang dibentuk oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa untuk menyelenggarakan program pensiun iuran pasti bagi perorangan. Dana pensiun itu bisa saja ditarik di saat darurat, namun harus diinformasikan setahun sebelum pencairan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menetapkan banyak DPLK resmi, antara lain yang berasal dari perusahaan asuransi jiwa, seperti PT Bumiputera, PT Generali; DPLK PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT BRI (Persero) Tbk, dan sebagainya. Kendati demikian, pekerja juga harus cermat dalam memilih DPLK. Berikut tips yang Pajak.com himpun dari OJK:

  1. Pastikan DPLK resmi terdaftar OJK.
  2. Peserta harus mampu melihat seberapa jauh dananya akan diinvestasikan. Biasanya DPLK menempatkan dana itu pada instrumen saham, surat utang negara, deposito, hingga reksa dana. Pilihan penempatan lainnya, yakni instrumen syariah. Pilih DPLK yang menempatkan dana pada instrumen investasi yang Anda yakini.
  3. Peserta harus mempertimbangkan sendiri model kebutuhan dana pensiun. Iuran dan produk dapat menyesuaikan dengan target yang dituju. Jika sumber penghasilan pensiun satu-satunya adalah dana di DPLK, tentu tidak disarankan dana ditempatkan pada instrumen yang rentan fluktuasi, seperti saham.
  4. Peserta harus mengetahui seluruh informasi yang disediakan DPLK. Tidak perlu ragu menanyakan segala sesuatunya. Termasuk kemungkinan keberlanjutan program di tengah jalan jika tiba-tiba perusahaan tutup.
  5. Peserta wajib mengetahui dengan pasti apa saja manfaat pensiun yang akan diterimanya kelak. Jangan sampai waktu dan dana yang ditempatkan justru merugikan atau tidak mencukupi kebutuhan peserta di masa pensiun. Cermati manfaat yang DPLK akan berikan.

OJK juga menjelaskan, Manfaat DPLK dibagi dalam dua bentuk. Pertama, menerima secara lumsum (uang yang dibayarkan sekaligus untuk semua biaya)—seluruh iuran beserta pengembangan investasinya. Kedua, setelah sebagian diterima dalam lumsum, maka sisanya dibelikan ke anuitas di perusahaan asuransi yang memberikan manfaat bulanan. Meski sudah dilakukan secara otomatis, sewajarnya peserta melakukan pemantauan terhadap kinerja perusahaan tempat dananya disimpan dan dikelola.

Perencana Keuangan OneShildt Budi Raharjo menambahkan, idealnya pegawai mulai menyiapkan dana untuk hari tua sejak awal bekerja. Hal ini agar persentase gaji yang dipotong untuk disisihkan ke tabungan hari tua tidak terlalu besar.

“Kalau ditunda-tunda, dana ideal yang harus dikeluarkan per bulan semakin berat. Jika seseorang mulai bekerja saat usia 25 tahun dan langsung daftar produk tabungan hari tua di perusahaan asuransi atau jadi peserta di DPLK, maka dana yang harus disisihkan sekitar 15 persen–20 persen dari total gaji. 15 persen–20 persen kesannya besar, tapi jangan lupa kita akan bertambah karier, potensi income juga naik. Jadi, harusnya memang meningkatkan penghasilan sejak muda supaya bisa merencanakan berbagai kebutuhan hari tua untuk beli aset atau pensiun,” kata Budi.

Sebagai simulasi, bila gaji saat baru memulai karier sekitar Rp 5 juta, maka dana yang harus disisihkan untuk hari tua minimal Rp 750 ribu–Rp 1 juta per bulan.

“Dengan menyisihkan 15 persen sampai 20 persen, harapannya gaya hidup setelah pensiun bisa sederhana, seperti mendapatkan gaji setara UMP (upah minimum provinsi). Namun, menurutnya, jika seseorang baru mulai menyisihkan dana DPLK di usia 35 tahun, maka dana yang harus disisihkan mencapai 30 persen dari total gaji. Hal ini agar dana yang terkumpul saat masa pensiun tetap ideal,” kata Budi.

Ia mengatakan, dana ideal yang harus disisihkan untuk dana pensiun memang jauh lebih besar ketimbang program JHT yang dikelola pemerintah. Berdasarkan aturan, pekerja hanya perlu menyisihkan 2 persen dari total gaji per bulan untuk membayar iuran JHT kepada BPJS Ketenagakerjaan. Sementara, perusahaan wajib membayar sebesar 3,7 persen dari total gaji karyawan setiap bulan. Dengan demikian, total iuran yang dibayarkan sebesar 5,7 persen dari total gaji karyawan untuk JHT.

“Sebenarnya, kalau hanya sekitar 5 persen, saat pensiun nanti harus menurunkan gaya hidup signifikan. Bahkan, tidak cukup. Makanya, sebaiknya, masyarakat harus menambah tabungan hari tua dengan membeli produk di perusahaan asuransi atau DPLK. Jika gaji yang dipotong dari JHT sudah 5 persen, artinya masyarakat perlu menyisihkan lagi sekitar 10 persen sampai 15 persen dari total gaji untuk produk di DPLK,” ujar Budi.

Ia mengingatkan, bahwa tabungan hari tua itu penting. Bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan demi kebahagiaan generasi selanjutnya. Ke depan, jangan sampai banyak lahir generasi sandwich, yakni anak atau cucu yang harus menanggung hidup orangtua yang tidak siap membiayai kebutuhan saat pensiun.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version