Menu
in ,

LBP: Wujudkan Kemandirian Nasional, Kurangi Impor APD

Pajak.com, Jakarta – Pengembangan farmasi dan alat kesehatan dalam negeri diperlukan untuk mewujudkan kemandirian di sektor kesehatan nasional. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengemukakan, salah satu langkah agar kesehatan nasional berdikari yakni mengurangi impor alat-alat kesehatan yang produksinya sudah bisa dibuat di dalam negeri, di antaranya adalah alat pelindung diri (APD).

“Tidak boleh lagi ada impor APD. Sudah cukup, di dalam negeri sudah ada, pakai yang dalam negeri. Kemarin ada yang datang ke saya, ‘Pak ini ada (APD) murah, datang APD dari luar’. Enggak ada urusan dari luar, dalam negeri pakai,” kata Luhut dalam Forum Nasional Kemandirian dan Ketahanan Industri Alat Kesehatan secara virtual, Senin (30/8).

Ia meyakini hal itu bisa terpenuhi karena kapasitas produksi APD dan masker di Indonesia cukup besar, mencapai 470,8 juta potong setiap bulan. Berdasarkan data dari Kementerian Industri, kapasitas produksi APD per bulan mencapai 39,6 juta potong; dan kapasitas produksi pakaian bedah (gown) mencapai 24,93 juta potong per bulan.

Sementara untuk masker bedah, kapasitas produksinya mencapai 405,9 juta potong per bulan dan kapasitas produksi masker N95 mencapai 360 ribu potong per bulan. Dengan kapasitas tersebut, Indonesia diperkirakan dapat memproduksi 356,4 juta potong APD hingga akhir 2021.

Luhut juga mengungkapkan, nilai impor tertinggi di tahun 2020 juga terjadi pada beberapa alat kesehatan seperti electrodiagnosis sebesar 87 juta dollar AS (atau setara dengan Rp 1,25 triliun), alat scan ultrasonic 70 juta dollar AS (atau sekitar Rp 1 triliun). Sedangkan untuk jarum, kateter, kanula, dan lainnya sebesar 43 juta dollar AS (atau senilai Rp 620 miliar). Dia ingin cara impor besar-besaran seperti itu wajib diubah, agar kemandirian dan ketahanan industri alat kesehatan dalam negeri bisa tercapai.

“Kita akan kedepankan penggunaan produk-produk dalam negeri, dan saya berharap coba segera bekerja sama. Yang penting kita mau, jadi nanti kita kawinkan semua sehingga kita membangun suatu global supply chain,” imbuhnya di hadapan pelaku industri.

Tak hanya itu, Luhut pun menyoroti ketergantungan industri dalam negeri terhadap bahan baku obat atau Active Pharmaceutical Ingredients (API) impor yang masih sangat tinggi. Mengacu pada impor bahan kimia anorganik yang termasuk API, impor Indonesia tahun 2019 mencapai 1,9 miliar dollar AS, sedangkan ekspor mencapai 1,1 miliar dollar AS.

“Nah ini yang menjadi target kita, jadi permintaan produk farmasi di Indonesia sebagian besar dapat dipenuhi dalam negeri dengan nilai impor sekitar 912 juta dollar AS dan ekspor 556 juta dollar AS,” ucapnya.

Mantan Menteri ESDM ini berharap, pelaku industri farmasi bisa bekerja sama mengedepankan bahan baku dari dalam negeri.

“Ini saya kira perlu nanti teman-teman industri dalam bidang obat karena pemerintah sudah membuat policy baru bahwa kita akan mengedepankan penggunaan produk-produk dalam negeri. Dan saya berharap coba segera bekerja sama untuk melakukan ini,” sambungnya.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan ini bilang, aturan mengenai Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) di sektor kesehatan yang diatur saat ini minimal 25-40 persen. Aturan ini seharusnya dapat mendorong berkembangnya industri bahan baku obat di Indonesia. Kedepannya, lanjut Luhut, TKDN untuk alat kesehatan dan farmasi akan ditingkatkan menjadi 55 persen.

“Ayo teman-teman (pelaku industri kesehatan), kita akan bantu Anda bikin apa saja. Izin-izin apa saja semua akan kami permudah,” tegasnya.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version