Menu
in ,

Kemenhub Usul Tarif KRL Commuter Line Naik April 2022

Pajak.com, Jakarta – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengusulkan kenaikan tarif kereta rel listrik (KRL) Commuter Line menjadi sekitar Rp 5.000 untuk 25 kilometer (km) pertama, dari yang sebelumnya Rp 3.000. Usulan itu berdasarkan hasil tiga studi analisis kemampuan dan kemauan membayar atau apability to pay dan willingness to pay (ATP-WTP) oleh Kemenhub, Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan (Balitbanghub), dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Kenaikan tarif direncanakan akan dimulai 1 April 2022.

Direktur Pembina Keselamatan Kemenhub Mohammad Risal Wasal mengatakan, kenaikan tarif diharapkan dapat meningkatkan pelayanan KRL Commuter Line untuk masyarakat. Namun, penetapan nominal kenaikan tarif masih menjadi pertimbangan pemerintah. Pasalnya, transportasi penunjang lainnya juga telah mengalami kenaikan tarif. Pemerintah harus menjaga agar masyarakat tetap memilih transportasi umum dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

“Transportasi penunjangnya sudah pada naik (tarifnya), termasuk ojek online. Ini patut dipertimbangkan bagaimana KRL Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) bisa ditingkatkan sesuai dengan kemampuan pengguna KRL,” kata Risal dalam diskusi daring bertajuk Pelayanan Baru dan Penyesuaian Tarif Commuter Line, (12/1).

Menurutnya, Kemenhub telah melakukan studi ATP-WTP dengan jumlah responden sebanyak 6.841 orang dari lima stasiun, yakni Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Serpong. Studi itu menemukan rata-rata kemampuan bayar konsumen KRL Commuter Line mencapai Rp 8.486 per orang, sedangkan kemauan membayar atau WTP senilai Rp 4.625. Metode yang digunakan Kemenhub dalam menghitung ATP adalah mengaitkan upah minimum provinsi (UMP) setiap daerah stasiun.

Dalam kesempatan yang sama, Plt Kasubdit Penataan dan Pengembangan Jaringan Kemenhub Arif Anwar mengungkap, pihaknya telah mengajukan penyesuaian KRL Commuter Line itu. Selain demi peningkatan pelayanan, kebijakan ini juga untuk meringankan subsidi pemerintah.

“Penyesuaian tarif ini akan meringankan beban pemerintah dalam subsidi kewajiban layanan publik atau PSO (public service obligation). Pasalnya, nilai PSO yang diberikan pemerintah ke KCI (PT Kereta Commuter Indonesia) terus meningkat sejak 2017, sedangkan tarif KRL tidak berubah sejak 2015,” kata Arif.

Berdasarkan data KCI, nilai PSO yang diberikan pemerintah mencapai Rp 1,99 triliun pada 2021 atau naik 28,3 persen dari realisasi 2020 senilai Rp 1,55 triliun. Capaian itu juga naik 57,81 persen jika dibandingkan dengan PSO pada 2017 senilai Rp 1,26 triliun.

“KCI membutuhkan dana hingga Rp 14.981 per orang untuk dapat mengoperasikan KRL. Dengan kata lain, PSO yang diberikan per penumpang adalah Rp 11.981 per orang dengan perhitungan tarif saat ini. Artinya, kenaikan tarif ini dalam rangka untuk mengurangi beban PSO,” jelas Arif.

Sementara itu, studi ATP-WTP Balitbanghub menemukan, ATP pada 25 kilometer pertama adalah Rp 4.988, sedangkan WTP mencapai Rp 5.400. Metode perhitungan ATP-WTP yang dipilih Balitbanghub adalah menghubungkan antara pendapatan pengguna KRL dengan pengeluaran transportasi.

Kemudian, studi ATP-WTP yang dilakukan YLKI menyatakan, KCI memiliki ruang untuk menaikkan tarif senilai Rp 2.000 pada 25 kilometer pertama menjadi Rp 5.000. Implikasi dari penyesuaian tarif itu adalah terkikisnya jumlah penumpang sebanyak 3 persen. Kendati demikian, sebanyak 95,5 persen penumpang KRL Commuter Line menyatakan akan tetap menggunakan layanan ini jika terjadi kenaikan tarif.

“Saya kita moda transportasi KRL Commuter Line jadi moda transportasi yang dianggap paling murah, sehingga loyalitas pada KRL Commuter Line sangat tinggi,” kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi.

Direktur Operasi dan Pemasaran KCI Wawan Ariyanto menambahkan, perseroan saat ini sedang mengembangkan pembelian tiket dengan teknologi account based ticket (ABT). Nantinya, ABT akan dihubungkan dengan kartu multitrip (KMT) yang menjadi alat pembayaran KRL saat ini. ABT itu akan memilah penumpang yang berhak mendapatkan PSO atau tidak. Artinya, ada penumpang yang harus membayar tiket mencapai Rp 14.981 untuk 25 kilometer pertama—sesuai dengan harga nonsubsidi yang ditetapkan KCI dalam mengangkut satu penumpang.

“(Secara) prinsip, kalau (sistem ABT) disetujui, kami siap karena kami sedang membangun sistem ABT. Saya yakin ini akan memberikan SPO yang tepat sasaran,” kata Wawan.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version