Menu
in ,

Indonesia Butuh Rp 3.461 T untuk Turunkan Emisi Karbon

Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, Indonesia membutuhkan anggaran sebesar Rp 3.461 triliun sampai 2030 untuk menurunkan emisi karbon atau CO2. Menurutnya, sumber utama untuk memenuhi kebutuhan itu akan berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

“Perhitungan tersebut berdasarkan data terbaru dari target nationally determined contributions (NDC) hingga 2030. Angka Rp 3.461 triliun hingga tahun 2030 merupakan sebuah angka yang sangat signifikan, sekitar Rp 343,6 triliun per tahunnya, dari 2020 sampai 2030. Salah satu tools yang penting bagi kita untuk mencapai tekad tersebut adalah APBN, yaitu keuangan negara kita,” kata Sri Mulyani dalam webinar Green Economy Outlook 2022, (22/2).

Ia menekankan, Indonesia telah bertekad untuk berkontribusi menurunkan CO2 menuju net zero emission pada tahun 2060. Secara bertahap, Indonesia menargetkan penurunan CO2 sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan upaya dan dukungan internasional di tahun 2030.

“Dengan komitmen tersebut, pemerintah akan terus berupaya mendesain kebijakan meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan pertumbuhan ekonomi tanpa menimbulkan efek samping terhadap emisi CO2. Nantinya, APBN akan menjadi instrumen kebijakan yang sangat penting di dalam menentukan dan memengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat. Sehingga pemerintah bisa optimistis menaikkan kesejahteraan, kegiatan ekonomi, dan disaat yang sama bisa juga menurunkan CO2,” kata Sri Mulyani.

Menurutnya, kementerian keuangan telah menyusun kebijakan yang disebut dengan Climate Change Fiscal Framework (CCFF). Kerangka kebijakan ini menyelaraskan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang sudah ditetapkan hingga 2024 dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Saat ini Indonesia juga berupaya mendorong ekonomi hijau sebagai isu prioritas dalam Presidensi G20.

“Kita akan terus berupaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan, meningkatkan ketahanan bencana, perubahan iklim, serta bagaimana mendesain pembangunan yang rendah karbon,” tambah Sri Mulyani.

Direktur Pelaksana Bank Dunia 2010—2016 ini menyebutkan, salah satu kebijakan yang akan segera diterapkan, yaitu pajak karbon untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara. Pajak karbon sekaligus sebagai sumber baru pembiayaan pembangunan berkelanjutan.

“Bahkan di dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan, kita telah memperkenalkan instrumen baru yang disebut pajak karbon. Ini adalah sebuah instrumen kebijakan untuk bisa mendorong perilaku dari kegiatan ekonomi terutama dari sektor swasta agar makin memasukkan konsekuensi dari kegiatan ekonominya dalam bentuk karbon emisi di dalam hitungan investasi mereka. Dan tentunya dengan adanya carbon tax dan mekanisme carbon market kita juga akan mendorong inovasi teknologi dan investasi yang lebih efisien dan konsisten,” jelas Sri Mulyani.

Pemerintah juga telah menggunakan kebijakan perpajakan untuk memberikan insentif bagi dunia usaha yang akan berinvestasi di sektor ekonomi hijau. Insentif itu, antara lain tax holiday, tax allowance, pembebasan bea masuk impor, pengurangan pajak pertambahan nilai (PPN).

“Bahkan pajak penghasilan (PPh) yang ditanggung pemerintah untuk kegiatan geotermal kita bisa memberikan pengurangan pajak bumi dan bangunan (PBB). Ada juga pengurangan (PBB) untuk pengembangan panas bumi serta energi baru dan terbarukan atau EBT,” jelas Sri Mulyani.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version