Menu
in ,

Triv Tanggung Pajak Transaksi Aset Kripto Nasabah

Pajak.com, Jakarta – Triv.co.id (Triv), salah satu pedagang aset kripto di Indonesia, memutuskan untuk menanggung pajak atas transaksi aset kripto nasabah. Founder dan Chief Executive Officer (CEO) Triv Gabriel Rey menilai positif pemajakan aset kripto yang ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022.

“Dengan pengenaan pajak ini artinya perdagangan aset kripto dianggap legal di Indonesia. Ini jelas kabar baik bagi seluruh investor maupun pedagang aset kripto yang resmi dan terdaftar di Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi) seperti Triv. Meskipun transaksi aset kripto resmi dipajaki, namun transaksi aset kripto di Triv tetap bebas pajak transaksi. Kami akan menanggung seluruh biaya pajak demi keamanan dan kenyamanan user Triv,” jelas Rey dalam keterangan tertulis, (11/5).

Dengan demikian, tidak ada kenaikan dari biaya transaksi di Triv. Pengguna dapat meminta bukti potong pajak untuk dilaporkan. Rey memastikan, fasilitas pembebasan pajak ini sebagai bukti perusahaan terus berupaya memberi kenyamanan dan keamanan nasabah.

“Nasabah selalu menjadi prioritas utama bagi Triv. Nasabah Triv tidak perlu khawatir. Tetaplah bertransaksi seperti biasa. Dan manfaatkan bukti potong pajak yang kami berikan dalam pelaporan SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) pajak kelak,” kata Rey.

Seperti diketahui, perdagangan aset kripto di Indonesia telah mencapai babak baru dengan berlakunya PMK Nomor 68 Tahun 2022 yang mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi aset kripto mulai 1 Mei 2022.

Berdasarkan regulasi itu, besaran PPN aset kripto ditetapkan sebesar 1 persen dari tarif 11 persen jika transaksi melalui penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Sementara, ditetapkan sebesar 2 persen dari tarif PPN bila transaksi dilakukan bukan PMSE.

Selain itu, perdagangan aset kripto juga dikenakan PPh Pasal 22 yang dipungut kepada penjual, penyelenggara PMSE, serta penambang aset kripto dengan tarif 0,1 persen.

Tanggapan positif juga diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) Teguh Kurniawan Harmanda. Ia mengatakan, Aspakrindo mengapresesiasi pemerintah karena telah berupaya membangun ekosistem aset kripto yang lebih baik. Hal ini menjadi legitimasi bagi aset kripto menjadi bagian dalam kelas aset baru di Indonesia.

“Khususnya, DJP (Direktorat Jenderal Pajak) sangat koperatif dengan masukan dari asosiasi dan sejumlah pedagang aset kripto di Indonesia. Namun, besar harapan kami, DJP bisa kembali meninjau aturan PMK 68 Tahun 2022 dengan memasukan usulan dari asosiasi dan pedagang aset kripto, agar pemungutan pajak tetap optimal dan menguntungkan semua pihak,” harap Manda.

Ia mengungkapkan, secara umum Aspakrindo telah menyampaikan kepada DJP, PMK Nomor 68 Tahun 2022 belum sepenuhnya menyentuh beragam jenis transaksi aset kripto, sehingga implementasi aturan masih membutuhkan waktu untuk pengembangan Application Programming Interface (API) dan sosialisasi.

“Beberapa gambaran secara general, karena untuk transaksi B2B (Business to Business), exchanger to exchanger, masih belum ada aturannya. Karena saat ini exchanger tidak berdiri sendiri, karena saling membuka diri, sehingga setiap exchanger yang saling bekerja sama punya posisi jual-beli aset kripto yang sama. Dalam aturan PMK Juga belum dijelaskan untuk pemberian hadiah, seperti campaign rewards, air drops, dan lainnya berupa aset kripto, apakah dilakukan pemungutan pajak atau tidak. Bila tetap dipungut dasarnya apa? PPN atau PPh Final? Begitu pula dengan pertukaran barang/jasa dengan aset kripto,” jelas Manda.

Sebelumnya, Kepala Sub Direktorat Pajak Pertambahan Nilai, Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Bonarsius Sipayung menjelaskan, pemerintah memiliki dua pendekatan dalam menentukan tarif pajak kripto. Pertama, pajak kripto tidak melebihi biaya transaksi. Kedua, mengusung konsep keadilan dan menyesuaikan kebijakan kripto di dunia.

“Jangan sampai pajak melebihi biaya transaksi. Karena akan merusak ekosistem aset kripto. Jadi kita sudah memikirkan dalam konteks pengenaan tarif pajak kripto konsep berbagi dan keadilan,” kata Bonarsius.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version