Menu
in ,

Menkeu: Pemerintah Hati-Hati Terapkan Pajak Karbon

Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan, penerapan pajak karbon kembali diundur dikarenakan pemerintah harus berhati-hati terhadap dampak gejolak global di sektor energi. Seperti diketahui, semula penerapan pajak karbon direncanakan mulai berlaku 1 Juli 2022. Pemerintah juga ingin memastikan, penerapan pajak karbon akan berdampak positif bagi perekonomian Indonesia. Secara simultan, pemerintah masih menyusun peraturan terkait penerapan pajak karbon.

“Di dalam peraturan dan regulasinya tetap kita susun karena itu penting bahwa climate change merupakan concern yang penting bagi dunia dan terutama bagi kita sendiri. Saat ini pemerintah juga juga sedang mengatasi ketidakpastian yang berasal dari global terutama harga-harga energi yang bergejolak. Karena saat ini negara Eropa yang lebih banyak menggunakan batu bara akibat Rusia yang tidak mengekspor minyak dan gas. Nah hal yang seperti ini harus kita kalkulasi secara sangat hati-hati terhadap policy yang menyangkut energi, termasuk di dalamnya pajak karbon,” jelas Sri Mulyani kepada awak media usai menghadiri rapat bersama Badan Anggaran (Banggar), di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), (27/6).

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara juga memastikan, penerapan pajak karbon akan memerhatikan kondisi perekonomian Indonesia. Artinya, implementasi pajak karbon bukan hanya semata-mata untuk menggaet penerimaan negara, melainkan permasalahan ekosistem pendukungnya.

“Pajak karbon kita memerhatikan kondisi ekonomi, bukan masalah tundanya. Pajak karbon itu dimaksudkan agar perekonomian kita bisa lebih green, bukan dengan memajaki emisinya, tapi dengan mengombinasikan dia dengan cap and trade,” jelas Suahasil.

Selain itu, ia mengungkapkan, saat ini pemerintah sedang menyiapkan besaran karbon yang perlu diemisikan pada setiap sektor.

“Barulah kemudian bisa dibikin pasar karbonnya. sehingga perusahaan yang menghasilkan emisi bisa mencari karbon kreditnya di pasar tersebut,” tambah Suahasil.

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu mengungkapkan, pemerintah terus mempertimbangkan penerapan pajak karbon di tengah meningkatnya tekanan global, seperti kenaikan harga komoditas dan inflasi. Untuk itu, pemerintah harus menunda penerapan pajak karbon.

“Seluruh peraturan pendukung untuk implementasi pajak karbon saat ini masih terus dimatangkan oleh seluruh kementerian dan lembaga, termasuk kementerian keuangan. Karena kondisi global masih belum cukup kondusif. Pemerintah menilai, masih perlu menyempurnakan skema pasar karbon, karena instrumen ini sangat krusial terhadap pencapaian NDC (National Determine Contribution),” jelas Febrio dalam Konferensi Pers APBN KiTA (Kinerja dan Fakta), yang disiarkan secara virtual (23/6).

Kendati demikian, ia memastikan implementasi pajak karbon akan tetap diberlakukan tahun 2022, sebagaimana amanat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Penerapan pajak karbon juga dipastikan akan diberlakukan terlebih dahulu terhadap PLTU batu bara dengan mekanisme cap and tax.

“Pemerintah menjalankan penerapan pajak karbon di 2022 sebagai penggerak kebijakan strategis yang menjadi showcase dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 nanti,” ungkap Febrio.

Selain pajak karbon, pemerintah juga akan memperkenalkan instrumen mitigasi perubahan iklim lainnya yang sedang dirancang, yakni Energy Transition Mechanism (ETM).

“Hal ini untuk menunjukkan komitmen pemerintah untuk memensiunkan PLTU batu bara serta mendukung pengembangan pembangkit energi terbarukan,” kata Febrio.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version