Menu
in ,

Transformasi Digital Ciptakan Disrupsi dan Tantangan

Pajak.com, Malang – Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengungkapkan, transformasi digital akan menciptakan disrupsi atau tantangan bagi Indonesia, antara lain banjirnya produk impor dan teknologi robotik yang berpotensi menggerus lapangan pekerjaan.

Ia menjelaskan, terdapat dua gelombang ciptakan disrupsi dan tantangan pada transformasi teknologi digital. Gelombang pertama, disrupsi teknologi ditandai dengan menjamurnya marketplace atau e-commerce yang akan membawa kemajuan sekaligus menggerus perekonomian dalam negeri.

“Akhirnya, ketika e-commerce, tren pembelanjaan online naik. Tapi barangnya barang siapa? barang impor. Kita temukan hijab yang UMKM (usaha mikro kecil menengah) buat Rp 200 ribu, dijual Rp 20 ribu saja. Tentu hal ini akan merusak pondasi daripada supply chain UMKM kita yang menjadi bagian dari tulang punggung ekonomi kita juga,” kata Erick dalam orasi ilmiah yang diselenggarakan oleh Universitas Brawijaya, bertajuk Globalization and Digitalization: Strategi BUMN Pascapandemi, pada (27/11).

Gelombang kedua, Indonesia akan menghadapi disrupsi teknologi yang ditandai dengan menjamurnya layanan digital, seperti healthtech, edutech, fintech, media-tech, dan sebagainya. Teknologi robotik ini akan berpotensi mendisrupsi lapangan pekerjaan dan eksistensi manusia.

“Ini lebih menyeramkan dari e-commerce. Kalau e-commerce kita bisa menahan belanja. Tetapi kalau kita bicara healthtech, fintech, edutech adalah bagian dari keseharian kita yang tidak mungkin kita tidak concern mengenai pendidikan dan kesehatan, apalagi sistem pembayaran. Ini yang menyebabkan disrupsi sektor lapangan pekerjaan untuk manusia karena dengan adanya robotic dan artificial intelligence. Lalu, kita lihat juga bagaimana posisi kita punya startup. Dibanding negara lain, kita masih jauh. Di Tiongkok jumlahnya ratusan, Amerika juga ratusan, startup kita pun banyak didominasi oleh asing. Ini realita yang memang harus kita lihat secara bersama-sama,” ungkap Erick.

Selain itu, Indonesia juga memiliki tantangan dalam pengembangan green economy. Hal ini menjadi salah satu pembahasan penting dalam pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Roma, Italia, pada Oktober lalu.

“Indonesia memiliki komitmen yang sama untuk transformasi ke green economy. Namun, proyek green economy dibarengi oleh kepentingan dari negara-negara maju. Bapak presiden tidak mau tandang tangan di G20 mengenai supply chain. Kenapa? Salah satunya bahwa kita ditekan hanya membuka, bahwa industri pertambangan, harus dikirim sebanyak-banyaknya ke negara lain. Jadi apa bedanya waktu dulu zaman VOC datang ke sini mencari pala dan rempah?,” kata Erick.

Ia menegaskan, pemerintah tidak ingin sumber daya alam (SDA) Indonesia dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bagi negara maju.

“Kita tidak anti asing. Tetapi sudah sewajarnya sumber daya alam kita harus dipakai untuk pertumbuhan ekonomi kita yang sebesar-besarnya. Pasar nasional harus dimanfaatkan untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Karena itu saya membuat statement, Bapak Presiden Jokowi juga membuat statement, bahwa ini adalah sudah waktunya kita menjadi sentra daripada pertumbuhan ekonomi dunia. Ekonomi dunia menjadi bagian pertumbuhan ekonomi kita. Bukan dibalik, kita hanya dijadikan sapi perah saja,” jelas Erick.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version