Menu
in ,

PLN Siap Implementasi Pajak dan Perdagangan Karbon

Pajak.com, Jakarta – PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN siap mengimplementasikan aturan pajak maupun perdagangan karbon yang mulai berlaku 1 April 2022. PLN juga telah memantapkan langkah-langkah strategis dalam menaati Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Menurut Direktur Manajemen Sumber Daya Manusia PLN Yusuf Didi Setiarto, hal itu merupakan salah satu inisiatif dekarbonisasi yang dilakukan oleh perseroan.

“PLN telah berkomitmen mencapai NZE (net zero emissions) pada 2060 yang sejalan dengan agenda nasional. Penyelenggaraan implementasi NEK merupakan salah satu pilar strategis untuk memenuhi target penurunan emisi nasional dan aspirasi NZE 2060,” kata Didi dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, (21/1).

Kendati demikian, ia mengungkap, masih ada beberapa tantangan yang dihadapi PLN dalam mengimplementasikan regulasi NEK. Beberapa di antaranya terkait kapasitas sumber daya manusia yang masih perlu dikembangkan; sistem pengukuran, pelaporan dan verifikasi (measurement, reporting, verification/MRV) yang belum beroperasi secara penuh; serta perencanaan implementasi NEK yang masih belum optimal.

“Karena itu, ketentuan mengenai mekanisme implementasi cap, trade, and tax dibutuhkan sebagai rujukan bagi PLN untuk melakukan perencanaan dan strategi yang matang sebagai persiapan implementasi NEK di Indonesia,” kata Didi.

Dalam regulasi NEK, diatur pungutan atas karbon berupa pajak, baik pusat maupun daerah; kepabeanan dan cukai; serta pungutan negara lainnya berdasarkan kandungan karbon, potensi emisi karbon, jumlah emisi karbon, serta kinerja aksi mitigasi perubahan iklim. Adapun pungutan pajak karbon diatur melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Besaran pajak karbon, yakni Rp 30 per kilo gram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara.

Selain itu, menurut Didi, sejak 2005 PLN sebenarnya telah berpartisipasi dalam perdagangan karbon internasional. Beberapa pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) mengikuti mekanisme perdagangan karbon melalui protokol Kyoto, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong dan PLTP Kamojang. Keduanya sudah mengadopsi clean development mechanism (CDM).

“Selain CDM, PLN juga telah mengadopsi mekanisme verified carbon standard atau VCS pada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Musi, PLTA Renun, dan PLTA Sipansihaporas,” tambah Didi.

Instrumen NEK lainnya yang berhasil dilakukan PLN, yaitu uji coba perdagangan karbon nasional di PLTU Tanjung Jati B dan 25 PLTU lainnya. Langkah itu bahkan mendapat Penghargaan Subroto Bidang Efisiensi Energi Tahun 2021 Kategori C: Penurunan dan Perdagangan Emisi Karbon di Pembangkit Listrik.

“PLN telah melakukan uji coba perdagangan karbon nasional melalui dua skema, yaitu perdagangan kuota emisi dan pengimbangan emisi. Perdagangan emisi terjadi antara pembangkit yang melebihi emisi dengan pembangkit yang memiliki alokasi emisi yang tidak terpakai. Adapun pengimbangan emisi dilakukan oleh PLTU dengan membeli kredit karbon atau sertifikat penurunan emisi yang dihasilkan oleh suatu aksi mitigasi perubahan iklim,” jelas Didi.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi juga menegaskan komitmen Indonesia untuk mencapai NZE pada 2060 atau lebih cepat, salah satunya dengan mendorong transisi energi nasional. Implementasi itu berupa penghapusan secara bertahap dari operasionalisasi PLTU batu bara dan subsidi dengan pengembangan energi secara besar-besaran dari EBT.

“KLHK telah membahas dan mendapatkan masukan dari kementerian dan lembaga terkait dan pemangku kepentingan untuk melengkapi dan menyempurnakan konsep peraturan turunan dari Peraturan Presiden Nomor 98 tahun 2021 mengenai penyelenggaraan NEK. Selain itu, KLHK juga mengembangkan berbagai macam modalitas dan sistem pendukung untuk memastikan penyelenggaraan NEK dapat berlangsung dengan tepat, efektif, dan efisien,” kata Laksmi.

Sistem pendukung lainnya, yaitu strategi dan peta jalan mitigasi, peta jalan adaptasi perubahan iklim, sistem inventori gas rumah kaca (GRK), sistem registri nasional (SRN), sistem informasi data indeks kerentanan, program kampung iklim, dan program maupun sistem pendukung lainnya.

“Tentunya, program dan sistem pendukung ini akan terus dikembangkan dan akan terus disempurnakan sesuai dengan kebutuhan dan tantangan serta strategi ke depan. Oleh karena itu, KLHK membutuhkan banyak dukungan agar seluruh upaya ini bisa mencapai kondisi yang diharapkan,” kata Laksmi.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version