Menu
in ,

Pemerintah Kembali Tunda Pemberlakuan Pajak Karbon

pemerintah tunda pemberlakuan pajak karbon

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah kembali memutuskan tunda pemberlakuan pajak karbon yang rencananya akan diberlakukan pada Juli 2022 mendatang. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu menyampaikan, keputusan ini diambil lantaran mempertimbangkan kondisi pemulihan ekonomi nasional yang saat ini masih terancam oleh krisis global.

Meskipun begitu, Febrio mengungkapkan bahwa pajak karbon tetap akan dikenakan pertama kali pada badan usaha yang bergerak di bidang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dengan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi tahun 2022 sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP.

“Pajak karbon diharapkan dapat mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon,” ungkapnya dalam keterangan resmi, dikutip Sabtu (25/06).

Ia menambahkan, fokus utama pemerintah adalah menjaga perekonomian nasional dari rambatan risiko global yang salah satunya adalah peningkatan harga komoditas energi dan pangan global seiring terjadinya perang di Ukraina yang menyebabkan peningkatan inflasi domestik.

Dengan perkembangan tersebut, pemerintah memprioritaskan fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk memastikan ketersediaan dan stabilisasi harga energi dan pangan di dalam negeri, termasuk memberikan subsidi dan berbagai bentuk perlindungan sosial untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan dari dampak kenaikan harga.

“APBN sebagai peredam guncangan (shock absorber) menjadi instrumen sentral dalam menjaga dan melindungi perekonomian dan rakyat dari dampak kenaikan harga pangan dan energi global,” ujarnya.

Terkait prosesnya, Febrio menjelaskan, pemerintah tetap berupaya mematangkan peraturan pendukung pemberlakuan pajak karbon. Hal ini dilakukan bersama dengan seluruh K/L terkait termasuk Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Proses penyempurnaan peraturan pendukung tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan seluruh aspek terkait, termasuk pengembangan pasar karbon, pencapaian target Nationally Determined Contributions (NDC), kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi.

“Proses pematangan skema pasar karbon termasuk peraturan teknisnya, yang sistemnya akan didukung oleh pajak karbon, masih membutuhkan waktu,” imbuhnya.

Selain itu, pemerintah juga tetap menjadikan penerapan pajak karbon pada tahun 2022 sebagai capaian strategis (deliverables) yang menjadi contoh dalam pertemuan tingkat tinggi G20.

“Termasuk bagian dari deliverables ini, pemerintah juga mendorong aksi-aksi mitigasi perubahan iklim lainnya, di antaranya melalui mekanisme transisi energi (Energy Transition Mechanism/ETM) yang di satu sisi memensiunkan dini PLTU Batubara (phasing down coal) dan di sisi lain mengakselerasi pembangunan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dengan tetap mempertimbangkan dampak sosial dan ekonominya,” katanya.

Tidak hanya itu saja, pemerintah juga terus menguatkan upaya penanggulangan perubahan iklim dalam rangka melaksanakan komitmen jangka pendek, menengah, dan panjang. Dalam jangka menengah, pemerintah telah menetapkan target penurunan emisi Gas rumah kaca (GRK) dalam kerangka komitmen yang telah ditetapkan (NDC) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Dalam jangka panjang, di tahun 2021, pemerintah juga telah menetapkan Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim atau Long-Term Strategy for Low Carbon Climate Resilience (LTS-LCCR) di tahun 2050 dan target emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat.

“Pemerintah memiliki target mitigasi perubahan iklim yang jelas dalam jangka pendek hingga panjang. Untuk mencapai berbagai komitmen tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai upaya yang dibutuhkan termasuk melalui bauran kebijakan (policy mix). Upaya ini juga terus diakselerasi untuk dapat mencapai target penanggulangan perubahan iklim lebih cepat,” pungkasnya.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version