Menu
in ,

Himbara: Kenaikan PPN Perlambat Inklusi Finansial

Himbara Khawatir Kenaikan PPN Memperlambat Inklusi Finansial

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) khawatir kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) akan menambah beban nasabah, sehingga memperlambat inklusi finansial. Hal itu disampaikan Himbara dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang digelar tertutup, pada (26/8).

Seperti diketahui pemerintah mengusulkan kenaikan PPN dalam Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Melalui beleid itu pemerintah menetapkan untuk menaikkan tarif PPN dari 10 persen menjadi 12 persen.

Himbara yang terdiri dari empat bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), PT Bank Mandiri Tbk, dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) ini mengakui, kebijakan yang terdapat di RUU KUP akan meningkatkan penerimaan PPN sekitar Rp 175,8 triliun di tahun 2022. Akan tetapi, kemungkinan hal itu berdampak pada penurunan kemampuan nasabah bertransaksi.

“Kenaikan PPN ini akan ditanggung oleh konsumen akhir sehingga beban pajak ini akan menambah beban nasabah pinjaman atau disinsentif, yaitu bunga plus pajak, sehingga peningkatan biaya meminjam ini akan berpotensi memperlambat inklusi finansial,” kata Ketua Umum Himbara Sunarso dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.compada (26/8).

Selain itu, Himbara menilai, dampak kebijakan PPN juga akan berpotensi menyebabkan produk domestik bruto (PDB) berkurang sekitar 0,27 persen. Artinya, tekanan dan daya beli serta inflasi yang meningkat akan membuat tekanan ke PDB.

“Himbara memperhitungkan akan terjadi juga kenaikan inflasi dengan estimasi menjadi kurang lebih 4 persen pada 2022 nanti. Sehingga penerapan PPN tersebut juga akan menyebabkan biaya loan semakin besar dan akan memengaruhi forward linkage perbankan atau sektor riil. Alhasil, perkembangan sektor riil akan terhambat,” jelas Direktur Utama BRI ini.

Himbara mengukur kebijakan PPN saat ini sebenarnya sudah tepat dan merupakan kebijakan yang berlaku di banyak negara. Salah satunya, di Uni Eropa yang mayoritas negaranya telah menerapkan pengecualian PPN untuk sektor keuangan, khususnya yang interest based. Selandia Baru bahkan menerapkan zero rating untuk sektor keuangan.

Di sisi lain, Himbara mengakui, dengan adanya kenaikan PPN, kemungkinan akan mengurangi defisit anggaran dari 6 persen menjadi 4,1 persen sampai 4,29 persen dari PDB.

“Kenaikan PPN juga dapat mengarahkan pada sovereign rating Indonesia yang kembali baik, alias dengan kembali ke prudent fiscal dengan maksimal defisit 3 persen dari PDB. Dengan begitu maka sovereign rating atau peringkat utang mata uang asing Indonesia akan kembali ke rating BBB,” kata Sunarso.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version