Menu
in ,

Lima Strategi BI Hadapi Kebijakan The Fed

Lima Strategi BI Hadapi Kebijakan The Fed

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memastikan, telah mempunyai lima strategi dalam menghadapi normalisasi kebijakan dari bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed), untuk menaikkan suku bunga acuan. BI memproyeksi, kenaikan itu mulai terjadi pada Maret 2022.

Lima strategi itu, yaitu pertama, memperkuat kebijakan nilai tukar rupiah untuk menjaga stabilitas nilai tukar yang sejalan dengan mekanisme pasar dan fundamental ekonomi.

“Bank Indonesia, KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) terus berkoordinasi erat dengan Kemenkeu (Kementerian Keuangan) untuk menjaga stabilitas rupiah agar kenaikan (suku bunga AS) dampaknya tetap mendukung stabilitas sistem keuangan Indonesia,” kata Perry dalam Seminar on Strategic Issue in G20: Exit Strategy and Scarring Effect, di Jakarta, Kamis (17/2).

Kedua, mengurangi suntikan likuiditas secara bertahap terhadap perbankan. Keputusan ini diambil setelah bank sentral secara masif menambah likuiditas perbankan (quantitative easing) akibat pandemi COVID-19 di tahun 2020–2021.

“Tapi, (pengurangan likuiditas) tetap memastikan bank mampu menyalurkan kredit dan juga memberikan SBN (surat berharga negara),” tambah Perry.

Ketiga, bank sentral berkomitmen untuk mempertahankan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50 persen, suku bunga deposit facility sebesar 2,75 persen, dan suku bunga lending facility sebesar 4,25 persen. Keputusan ini sejalan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar dan terkendalinya inflasi.

“Ini juga upaya untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan eksternal yang meningkat. Kami akan tetap jaga (suku bunga acuan) rendah sampai dengan adanya tanda-tanda inflasi,” ujar Perry.

Keempat, BI akan memperluas penggunaan local currency settlement (LCS) sebagai sarana untuk penyelesaian transaksi perdagangan dan investasi bilateral dengan negara-negara mitra utama, khususnya Asia.

Kelima, BI memperkuat kebijakan internasional dengan memperluas kerja sama dengan bank sentral dan otoritas negara mitra lainnya, fasilitasi penyelenggaraan promosi investasi dan perdagangan melalui kerja sama dengan instansi terkait, serta bersama Kemenkeu menyukseskan enam agenda prioritas jalur keuangan Presidensi Indonesia pada G20 tahun 2022.

Perry memandang, dampak kebijakan pengurangan likuiditas (tapering off) The Fed tidak akan sebesar kebijakan pengurangan pembelian aset dan surat utang (taper tantrum) pada 2013, baik untuk pasar global maupun Indonesia.

“Proses normalisasi kebijakan khususnya dari negara maju (Amerika Serikat) ini lebih berdampak kecil. Sebab dalam bank sentral The Fed melakukan sosialisasi, proses normalisasinya, hingga rencana untuk kenaikan suku bunga,” ungkapnya.

Dengan begitu, pasar dapat segera merespons dengan baik melalui sejumlah antisipasi kebijakan untuk meminimalisir dampak negatif yang berpotensi muncul ke depan. Khususnya bagi negara emerging market, seperti Indonesia.

“Kita terus menyiapkan bagaimana normalisasi proses dari kebijakan negara maju tetap dapat mendukung upaya bersama untuk pemulihan ekonomi,” tambah Perry.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version