Menu
in ,

Urgensi UU HPP untuk Menghadapi Tantangan Ekonomi di Masa Depan

Urgensi UU HPP untuk Menghadapi Tantangan Ekonomi di Masa Depan

FOTO: IST

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari reformasi perpajakan. Reformasi perpajakan dilakukan untuk mendukung upaya percepatan pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional melalui penataan ulang sistem perpajakan agar lebih kuat di tengah tantangan pandemi dan dinamika masa depan yang harus terus diantisipasi.

Dari sisi administrasi, UU HPP menutup berbagai celah aturan yang masih ada dan mengadaptasi perkembangan baru aktivitas bisnis terkini, seperti maraknya bisnis yang berbasis digital. Sedangkan dari sisi kebijakan perpajakan, UU HPP akan memperkuat aspek keadilan dalam hal beban pajak yang harus ditanggung oleh wajib pajak, serta keberpihakan untuk mendukung penguatan sektor UMKM.

“UU HPP mendekatkan kinerja perpajakan ke level potensialnya dengan perbaikan administrasi maupun kebijakan sehingga perpajakan nasional semakin siap menghadapi berbagai tantangan ekonomi ke depan. Ini tongkat estafet yang penting dari berbagai reformasi yang telah dilakukan sebelumnya”, ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, dalam rilisnya, Senin (11/10).

Komitmen pemerintah untuk melakukan reformasi kebijakan fiskal secara menyeluruh tercermin dalam UU HPP. Perbaikan terus menerus di sisi belanja melalui berbagai upaya penguatan efisiensi dan efektivitas anggaran harus disertai dengan penguatan di sisi pendapatan.

“Keberhasilan reformasi kebijakan fiskal sangat krusial karena mampu memfasilitasi reformasi struktural lainnya, seperti reformasi di bidang kesehatan dan pendidikan untuk penguatan modal manusia, serta keberlanjutan penguatan infrastruktur. Reformasi struktural akan membentuk fondasi bagi ekonomi yang semakin tumbuh tinggi secara berkelanjutan ke depan untuk mencapai Indonesia Maju 2045, melalui penciptaan iklim investasi dan bisnis yang kompetitif,” ujar Febrio.

Basis dari reformasi perpajakan yang ideal melalui UU HPP adalah aspek keadilan dan keberpihakan. Di sisi pajak penghasilan (PPh), keadilan dan keberpihakan dilakukan dengan perbaikan progresivitas PPh Orang Pribadi (OP) dengan melebarkan rentang penghasilan kena pajak hingga Rp60 juta untuk lapisan tarif PPh OP terendah 5 persen dari yang sebelumnya Rp50 juta, serta menambah satu lapisan tarif PPh OP tertinggi 35 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar per tahun. Di sisi lain, untuk wajib pajak orang pribadi UMKM, batas peredaran bruto tidak dikenai pajak ditetapkan sampai dengan Rp500 juta per tahun. Sementara, keadilan dan keberpihakan pada sisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dilakukan dengan melindungi masyarakat kecil melalui fasilitas pembebasan PPN terhadap barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial, dan lainnya.

Sebagai bagian dari strategi reformasi administrasi perpajakan, UU HPP juga akan mendorong peningkatan kepatuhan sukarela dengan memperkuat sistem administrasi pengawasan dan pemungutan perpajakan, serta memberikan kepastian hukum perpajakan. Hal ini dilakukan melalui penggunaan NIK sebagai NPWP Orang Pribadi, penyesuaian persyaratan bagi kuasa Wajib Pajak, penunjukan pihak lain sebagai pemotong/pemungut pajak, meningkatkan kerja sama penagihan pajak antarnegara, dan pengaturan pelaksanaan persetujuan bersama (Mutual Agreement Procedures/MAP).

“Dengan berbagai perubahan kebijakan maupun peningkatan kinerja administrasi perpajakan, UU HPP diperkirakan memberikan dampak positif bagi penerimaan perpajakan. Dalam jangka pendek di tahun 2022, penerimaan perpajakan diperkirakan akan tumbuh cukup tinggi dengan rasio perpajakan di kisaran 9% PDB, dan selanjutnya dalam jangka menengah rasio perpajakan bisa mencapai lebih dari 10% PDB paling lambat di tahun 2025, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin baik dan peningkatan kepatuhan yang berkelanjutan”, ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.

Poin-poin Penting dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Pemerintah dan DPR RI sepakat untuk meneruskan pembahasan RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam pembahasannya disepakati berubah menjadi RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) ke Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan pada sidang paripurna DPR RI.

Sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, dengan disepakatinya pengenaan pajak atas natura, pengaturan mengenai tindak lanjut atas putusan Mutual Agreement Procedure (MAP), pengaturan kembali besaran sanksi administratif dalam proses keberatan dan banding, serta penyempurnaan beberapa ketentuan di bidang penegakan hukum perpajakan.

Memperkuat reformasi administrasi perpajakan, melalui implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP untuk Wajib Pajak orang pribadi, memperkuat posisi Indonesia dalam kerjasama internasional, dan memperkenalkan ketentuan mengenai tarif PPN Final.

  • Perluasan basis pajak, sebagai faktor kunci dalam optimalisasi penerimaan pajak;
  • Pengaturan kembali tarif PPh Orang Pribadi dan Badan;
  • Penunjukan pihak lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak;
  • Pengaturan kembali fasilitas PPN;
  • Kenaikan tarif PPN;
  • Implementasi pajak karbon; dan
  • Perubahan mekanisme penambahan atau pengurangan jenis Barang Kena Cukai.

RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan merupakan bagian dari reformasi struktural di bidang perpajakan dan ini bertujuan untuk mendukung cita-cita Indonesia maju, yaitu Indonesia yang ekonomi untuk tetap maju dan berkelanjutan, dengan pemerataan dan inklusivitas, serta didukung oleh sumber daya manusia yang unggul dan kompetitif.

UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan Bagian Penting dari Reformasi Pajak

Reformasi perpajakan adalah suatu mata rantai tak terpisahkan dari reformasi perpajakan yang telah dijalankan. Oleh karena itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Hamonangan Laoly, mengatakan bahwa Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah disepakati merupakan bagian penting dari reformasi tersebut.

“Pandemi Covid-19 menjadi momentum untuk mempercepat proses reformasi perpajakan untuk menata ulang sistem perpajakan Indonesia agar mampu mengadopsi praktik-praktik terbaik dan mengantisipasi dinamika sosial ekonomi di masa yang akan datang,” ujar Yasonna saat membacakan pendapat akhir pemerintah terhadap UU HPP di hadapan peserta Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (7/10/2021).

Lebih lanjut Yasonna bilang, reformasi perpajakan dilakukan baik di dalam aspek administrasi maupun aspek kebijakan. “UU HPP yang telah disepakati merupakan bagian penting dari reformasi perpajakan untuk membangun fondasi perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel, dalam jangka menengah atau panjang, dengan beberapa tujuan,” terangnya.

Pertama untuk meningkatkan pertumbuhan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian; Kedua mengoptimalkan penerimaan negara; Ketiga, Mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum; Keempat, Melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis pajak.

Terakhir ialah meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Oleh karena itu, kata Yasonna mengatakan pemerintah sangat menghargai dan mempertimbangkan berbagai masukan dari berbagai kalangan masyarakat, serta dapat menerima berbagai usulan DPR dalam pembahasan yang sangat konstruktif di Panja RUU HPP.

“Sehingga dapat tercapai keseimbangan antara kepentingan Pemerintah untuk melaksanakan reformasi perpajakan, dengan kepentingan untuk menjaga kondisi masyarakat dan dunia usaha, serta keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dan usaha mikro, kecil, dan menengah,” urainya.

Pemerintah juga berharap melalui UU HPP ini, pajak benar-benar hadir untuk mendukung rakyat dan berkontribusi dalam pemulihan ekonomi nasional serta meningkatkan keadilan di masyarakat. Dalam penjelasannya, Yasonna menjabarkan penerapan tarif PPh Badan sebesar 22 persen, penerapan tarif PPN sebesar 11 persen pada April 2022.

Serta pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada Semester I Tahun 2022 dapat meningkatkan kontribusi penerimaan perpajakan pada APBN pada Tahun 2022 serta mendukung penyehatan kembali APBN dengan defisit maksimal 3 persen pada tahun 2023. “Kami meyakini dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang ini, maka kita telah bergerak maju menuntaskan salah satu agenda reformasi penting bagi kemajuan bangsa dan negara,” pungkas Menkumham.

Dengan demikian, adanya berbagai perubahan kebijakan maupun peningkatan kinerja administrasi perpajakan, UU HPP diperkirakan memberikan dampak positif bagi penerimaan perpajakan. Dalam jangka pendek di tahun 2022, penerimaan perpajakan diperkirakan akan tumbuh cukup tinggi dengan rasio perpajakan di kisaran 9% PDB, dan selanjutnya dalam jangka menengah rasio perpajakan bisa mencapai lebih dari 10% PDB paling lambat di tahun 2025, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin baik dan peningkatan kepatuhan yang berkelanjutan.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version