Menu
in ,

Sri Mulyani Optimistis Rasio Pajak Capai 8,42 Persen

FOTO :IST

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah menargetkan rasio pajak (tax ratio) Indonesia sebesar 8,37 persen sampai dengan 8,42 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2022. Angka itu meningkat dari target rasio pajak tahun 2021, yakni 8,18 persen dari PDB.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimistis akan target itu. Sebab pemerintah telah menerapkan sejumlah langkah untuk mendorong optimalisasi penerimaan perpajakan, yang akan bermuara pada tercapainya target rasio pajak.

“Optimalisasi penerimaan pajak dilakukan untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil dan sehat. Hal ini dilakukan melalui reformasi administrasi dan reformasi di bidang kebijakan perpajakan,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah terkait Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) RAPBN Tahun 2022, yang disiarkan secara virtual, pada Senin (31/5).

Hal itu diturunkan menjadi tiga langkah. Pertama, menggali potensi perpajakan melalui kegiatan pengawasan dan pemetaan kepatuhan yang berbasis risiko. Kedua, pemerintah akan memperluas basis perpajakan melalui perluasan objek dan ekstensifikasi berbasis kewilayahan. Ketiga, pemerintah akan menyesuaikan regulasi perpajakan yang sejalan dengan struktur dan karakteristik sektor perekonomian.

Sri Mulyani memastikan, pemerintah pun tetap melanjutkan reformasi perpajakan yang meliputi penguatan sisi organisasi, proses bisnis, regulasi, sumber daya manusia, dan penggunaan teknologi informasi.

“Konsistensi dalam melakukan reformasi perpajakan dan pemulihan ekonomi diharapkan mampu meningkatkan rasio perpajakan secara bertahap. Kami sangat mengharapkan dukungan dewan perwakilan di dalam terus memperbaiki dan meningkatkan reformasi perpajakan terutama bidang legislasi,” kata Sri Mulyani.

Sebagai informasi, rasio pajak dalam kurun waktu 10 tahun mengalami fluktuasi. Pada 2010 rasio pajak sebesar 12,9 persen terhadap PDB, 2011 naik menjadi 13,8 persen, lalu sebesar 14 persen di tahun 2012, turun lagi menjadi 13,6 persen di tahun 2013. Kemudian, tahun 2014 kembali turun 13,1 persen, semakin merosot menjadi 11,6 persen di tahun 2015, menjadi 10,8 persen di tahun 2016, 10,7 persen di 2017. Tahun 2018 rasio pajak perlahan naik menjadi 11,4 persen, tetapi turun lagi menjadi 10,73 persen di 2019 dan 7,9 persen di tahun 2020.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, cukup menantang bagi pemerintah untuk mencapai target rasio pajak 8,18 persen. Mengingat pertumbuhan ekonomi 5 persen masih dihantui oleh pandemi Covid-19 yang belum kunjung usai.

“Tentu kalau berbicara rasio pajak, maka tidak bisa dilepaskan dari kinerja penerimaan pajak secara keseluruhan. Kalau berbicara penerimaan pajak, maka salah satu faktor yang menentukan, yaitu pertumbuhan ekonomi. Pada tahun depan, pertumbuhan ekonomi diasumsikan bisa tumbuh di kisaran 5 pesen—sebenarnya bukan pertumbuhan yang relatif tinggi untuk dicapai, tapi ingat pandemi masih ada. Sejumlah kasus di dunia justru kembali naik,” kata Yusuf kepada Pajak.com, melalui telepon (1/6).

Keraguan juga dilatarbelakangi oleh proses vaksinasi yang ditargetkan baru akan rampung pada akhir tahun 2021. Artinya, dampak ekonomi baru akan dirasakan paling cepat pertengahan tahun 2022.

“Dalam waktu tunggu itulah yang saya lihat akan menahan potensi pertumbuhan ekonomi. Jika sudah demikian, tentu potensi penerimaan pajak yang diharapkan bisa digapai juga harus terdistorsi, apalagi beberapa sektor besar seperti industri manufaktur juga harus dihadapkan pada masalah deindustrialisasi (kontribusi sektor manufaktur dalam suatu ekonomi terus menurun) dan juga partisipasi Indonesia dalam global value chain juga masih terbatas,”jelas Yusuf.

Salah satu jalan keluar untuk mencapai target rasio pajak adalah kebijakan kenaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) dan regulasi multitarif dari pajak pertambahan nilai (PPN).

“Namun, menurut saya kebijakan baru tentu memerlukan waktu untuk kemudian bisa settle dengan kebijakan ataupun kondisi yang sudah ada. Belum lagi kalau berbicara dinamika dalam kebijakan, misalnya kebijakan ditolak. Itu akan berpengaruh kepada pasar, ekonomi, penerimaan pajak,” tambahnya.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version