Menu
in ,

Risiko Global Meningkat, APBN Fokus Jaga Bisnis

Pajak.com, Jakarta – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan, saat ini risiko global meningkat akibat gejolak geopolitik Rusia dan Ukraina serta perlambatan ekonomi dunia, khususnya di Tiongkok. Untuk itu, Kepala BKF Febrio Nathan Kacaribu memastikan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan dioptimalkan untuk menjaga bisnis dan daya beli masyarakat sehingga dapat meminimalkan dampak pada perekonomian nasional. Pemerintah juga akan terus memonitor dinamika dan prospek ekonomi global ke depan serta memitigasi berbagai dampak yang mungkin timbul.

“Harga energi domestik cenderung stabil karena peran APBN 2022 sebagai shock absorber melalui alokasi subsidi energi dan kompensasi yang mencapai Rp 502,4 triliun. Subsidi dan kompensasi energi diberikan untuk menjaga stabilisasi harga, melindungi daya beli serta menjaga momentum pemulihan ekonomi. Mengingat energi merupakan kebutuhan pokok, kebijakan subsidi energi ini vital bagi proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung,” jelas ungkap Febrio dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com (3/7).

Ia menguraikan, risiko global telah mengganggu rantai pasok global dan menghambat laju ekspansi manufaktur Indonesia, yang juga dialami oleh sebagian besar negara di kawasan Asia, termasuk Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Vietnam, Thailand, dan Filipina. Saat ini sektor manufaktur Indonesia melanjutkan kinerja yang positif meskipun sedikit melambat, sebagaimana tecermin dari PMI (purchasing managers index) manufaktur di Juni 2022 yang masih berada pada zona ekspansif di level 50,2 dan Mei 50,8.

“Ekspansi ini menunjukkan aktivitas produksi yang masih terus meningkat. Dengan demikian, momentum pemulihan ekonomi nasional terjaga,” kata Febrio.

Di sisi lain, meskipun sedikit meningkat, inflasi Juni 2022 juga masih terjaga di level 4,35 persen dibandingkan periode yang sama di tahun lalu, sementara Mei 2022 sebesar 3,55 persen.

“Dibandingkan dengan banyak negara di dunia, inflasi Indonesia masih tergolong moderat. Laju inflasi di AS (Amerika Serikat) dan Uni Eropa terus mencatatkan rekor baru dalam 40 tahun terakhir, masing-masing mencapai 8,6 persen dan 8,8 persen. Demikian juga di sejumlah negara berkembang, seperti Argentina dan Turki, dengan laju inflasi masing-masing mencapai 60,7 persen dan 73,5 persen,” ujar Febrio.

Dengan demikian, melalui instrumen APBN, saat ini pemerintah berhasil meredam tingginya tekanan inflasi global, sehingga daya beli masyarakat serta momentum pemulihan ekonomi nasional masih tetap dapat dijaga.

“Namun, pemerintah akan terus memantau dan memitigasi berbagai faktor yang akan berpengaruh pada inflasi nasional, baik yang berasal dari eksternal maupun domestik. Kita lihat inflasi Juni mengalami peningkatan yang terutama disebabkan oleh kenaikan harga pangan bergejolak (volatile food) yang signifikan mencapai 10,07 persen. Komoditas pangan yang meningkat meliputi cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah akibat curah hujan tinggi di wilayah sentra sehingga menimbulkan gagal panen dan terganggunya distribusi,” ungkap Febrio.

Di sisi lain, harga minyak goreng mulai turun seiring melandainya harga minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO). Ia mengatakan, pemerintah akan terus mewaspadai perkembangan harga pangan akibat risiko cuaca dan tekanan harga global karena restriksi ekspor di beberapa negara produsen pangan.

“Pangan sangat penting bagi masyarakat sehingga pemerintah akan terus mengantisipasi dan memitigasi risiko dari kenaikan harga kelompok pangan bergejolak melalui berbagai kebijakan untuk menjamin kecukupan pasokan dan keterjangkauan harga pangan bagi masyarakat,” kata Febrio.

Untuk itu, demi mengantisipasi kenaikan harga komoditas pangan, pemerintah secara konsisten berupaya menjaga agar peran APBN sebagai shock absorber dapat berfungsi optimal untuk mengendalikan inflasi, menjaga daya beli masyarakat, serta menjaga agar pemulihan ekonomi semakin menguat. Pelbagai upaya menjaga stabilisasi harga pangan nasional telah ditempuh oleh pemerintah, diantaranya melalui pemberian insentif selisih harga minyak goreng, pelarangan sementara ekspor CPO dan turunannya.

“Hal ini untuk menjaga pasokan dengan harga terjangkau, serta mempertahankan harga jual BBM (bahan bakar minyak), LPG (liquefied petroleum gas), listrik tidak mengalami peningkatan. Ini semua diharapkan dapat menjaga kecukupan pasokan, kelancaran distribusi serta keterjangkauan harga pangan pokok sehingga dapat melindungi daya beli masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah,” kata Febrio.

Kemudian, inflasi inti pada Juni 2022 mengalami peningkatan menjadi 2,63 persen mencerminkan semakin menguatnya permintaan domestik. Inflasi harga yang diatur pemerintah juga mengalami peningkatan 5,33 persen setelah bergerak stabil di dua bulan sebelumnya, terutama karena kenaikan tarif angkutan udara dan Cukai Hasil Tembakau (CHT).

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version