Menu
in ,

Pemerintah Tingkatkan Investasi Energi dengan Insentif

Pajak.com, Jakarta – Energi merupakan bagian penting faktor produksi untuk kelangsungan kegiatan dan pertumbuhan ekonomi. Dalam kondisi krisis, energi juga menjadi komoditas strategis yang dapat mengancam kegiatan ekonomi, terutama pada saat kondisi harga yang tidak terkendali akibat terbatasnya pasokan, seperti yang terjadi saat ini pada pasar energi dunia, yaitu meroketnya harga gas dan batu bara, disusul kenaikan harga minyak. Hal ini menyebabkan terjadinya krisis energi di Eropa, khususnya Inggris, serta di Cina. Kondisi ketidakpastian yang semakin tinggi itu mewarnai sektor energi dunia yang berdampak kepada semua negara, termasuk Indonesia. Untuk itu, pemerintah terus berupaya memperbaiki iklim investasi guna meningkatkan daya saing investasi di sektor energi melalui berbagai insentif untuk meningkatkan penerimaan negara yang dapat dipergunakan sebagai modal pembangunan nasional.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, saat ini dunia sedang memasuki masa transisi energi sejak adanya Kesepakatan Paris (Paris Agreement) tentang perubahan iklim untuk menjaga agar pemanasan global tidak naik lebih dari 2 atau bahkan 1,5 derajat Celcius, yang ditindaklanjuti oleh pernyataan dari berbagai negara yang akan berada pada posisi net-zero emission (NZE) pada 2050 mendatang.

“Kebijakan pemulihan ekonomi Indonesia dilandasi keinginan kuat untuk menjaga kelompok rentan agar tidak terdampak secara drastis dari pandemi COVID-19 ini. Pemerintah telah meningkatkan anggaran untuk menjaga kelompok ini termasuk di dalamnya adalah UMKM. Semua itu membutuhkan anggaran yang cukup besar, di tengah penerimaan pajak yang menurun akibat pembatasan kegiatan ekonomi,” kata Menko Airlangga dalam keterangan tertulis Kamis (7/10/21).

Meski demikian, kata Menko Airlangga, pemerintah tidak melupakan aspirasi jangka panjang, contohnya dalam menangani masalah pemanasan global akibat perubahan iklim. Hal ini akan berdampak pada keharusan semua negara untuk melakukan transisi energi. Konsumsi energi ke depan perlu memperhatikan emisi karbon, sehingga kebijakan pemerintah mengarah pada pemberian insentif bagi investasi penggunaan energi bersih seperti energi terbarukan. Di saat yang sama, pemerintah juga membuat kebijaksanaan disinsentif, bahkan menghentikan atau moratorium penggunaan energi fosil, khususnya yang beremisi karbon relatif lebih tinggi.

Pembangunan ke depan diarahkan untuk mempertahankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, target penurunan emisi, dan kapasitas daya dukung sumber daya alam. Pemerintah akan membuat kebijakan yang mengakomodasi nilai ekonomi karbon yang implementasinya akan dilakukan secara bertahap.

Menko Airlangga menegaskan, pengenaan pajak karbon tidak serta merta akan dilakukan, tetapi akan dilakukan secara bertahap melalui kajian dari berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, maupun politis. Pembahasan serta kajian ini akan melibatkan berbagai kalangan, termasuk sektor swasta.

“Tantangan multidimensi yang dihadapi kali ini perlu ditanggapi secara seksama dengan melibatkan seluruh komponen bangsa. Pemerintah tidak bisa bergerak sendirian. Sektor swasta, akademisi serta organisasi wadah pemikir (think-tank), dan organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat, perlu bahu-membahu berkontribusi mendukung Pemerintah dalam menghasilkan kebijakan yang berorientasi jangka panjang, tetapi tak lupa mengatasi tantangan jangka pendek saat ini,” kata Menko Airlangga.

Seperti diketahui, krisis energi di Inggris akibat terjadinya perfect storm, yakni kondisi musim panas yang sangat panas—dan kemungkinan akan dilanjutkan dengan musim dingin yang sangat dingin menjelang akhir tahun ini di Eropa, lalu keterbatasan pasokan dari Rusia sebagai salah satu pemasok utama bagi Eropa, serta investasi infrastruktur penyimpanan (storage) gas yang terkendala. Dalam konteks Eropa, aturan emisi CO2 yang semakin ketat juga menyebabkan harga karbon menjadi sangat tinggi.

Pulihnya ekonomi di Cina saat ini menyebabkan permintaan energi yang tinggi, dan telah membuat harga batu bara mencapai tingkat tertinggi selama sejarah melebihi 230 dollar AS per ton di awal Oktober 2021. Dengan keterbatasan pasokan gas di Eropa, banyak pasokan yang sebelumnya untuk tujuan pasar Asia beralih ke Eropa. Akibatnya, harga di Asia, yang direpresentasikan oleh harga spot LNG meningkat sangat tinggi mencapai lebih dari 25 dollar  per Million British Thermal Unit (MMBTU).

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version