Menu
in ,

Pajak Karbon dan Pangkas Emisi CO2 Demi Listrik Bersih

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah berkomitmen mewujudkan akses energi listrik bersih (green energy) dan mencapai target Net Zero Emission (NZE) di 2060. Untuk mewujudkan listrik bersih itu, pemerintah menerapkan pajak karbon dan memangkas emisi karbon dioksida (CO2) pembangkit listrik sepanjang tahun 2021 hingga 10,37 juta ton atau mencapai 210,8 persen dari target sebesar 4,92 juta ton.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana menyampaikan, upaya menekan emisi pembangkit listrik ini menyangkut kontribusi Indonesia bagi nasib dunia. Pada 2020 lalu, Kementerian ESDM menargetkan angka penurunan emisi karbon di pembangkit sebesar 4,71 juta ton. Realisasinya mampu mencapai 186 persen atau 8,78 juta ton dari target yang ditetapkan. Hingga akhir tahun lalu, capaian target pengurangan emisi mencapai lebih dari 200 persen. Adapun pada 2022 ini, Kementerian ESDM telah menetapkan angka 5,36 juta ton reduksi emisi CO2 pembangkit listrik.

“Reduksi emisi CO2 pembangkit listrik dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan yang signifikan.” kata Rida dalam keterangan tertulis (Rabu, 19/1/21).

Sementara itu, untuk terus menekan emisi karbon, pemerintah pun telah menyusun prinsip pelaksanaan netralitas karbon dan peta jalan transisi energi, salah satunya melalui penerapan pajak karbon dan perdagangan karbon.

“Ini mulai menerapkan pajak karbon per tanggal 1 April 2022 dengan skema cap and trade and tax,” jelas Rida.

Penerapan skema cap and trade and tax, sambung Rida, secara khusus diberlakukan bagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara dengan kapasitas 25 Mega Watt (MW) hingga 100 MW dan rencananya akan mulai efektif diimplementasikan pada 2023 mendatang.

Secara rinci, pemerintah membagi penetapan Batas Atas Emisi GRK (BAE) pada tiga klasifikasi, yaitu PLTU non-Mulut Tambang dengan kapasitas di atas 400 MW, PLTU non-Mulut Tambang dengan kapasitas 100-400 MW, dan PLTU Mulut Tambang dengan kapasitas di atas 100 MW.

Menurut Rida, pengecualian tersebut dilakukan karena mempertimbangkan faktor pelayanan penyediaan listrik kepada masyarakat. Meski memiliki kapasitasnya kecil, secara fungsi PLTU dengan kapasitas 25–100 MW tersebut merupakan tulang punggung suplai kelistrikan di luar Pulau Jawa.

“Jangan sampai mengurangi pelayanan penyediaan listrik, karena karbon tinggi kemudian ditutup dan gelap gulita, itu buat kita tidak elok. Kalau ini ditutup karena alasan emisi, sementara penggantinya belum ada, jangan sampai seperti itu,” ungkap Rida.

Kementerian ESDM juga tengah menyiapkan regulasi berupa Rancangan Peraturan Menteri ESDM tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) pembangkit tenaga listrik.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version