in ,

Sembako dan Jasa Pendidikan Tidak Jadi Dikenakan PPN

Seperti diketahui, sebelumnya pemerintah mengusulkan kepada DPR untuk bisa menghimpun PPN atas sembako premium dan jasa pendidikan. Untuk rencana jasa pendidikan, pemerintah berencana mengenakan tarif PPN sebesar 7 persen.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, tidak semua sekolah akan dikenakan PPN, hanya sekolah tertentu saja. Contohnya, sekolah dengan bayaran yang tinggi.

“Ini juga untuk membedakan jasa pendidikan yang diberikan secara masif oleh pemerintah dan lembaga sosial lain, dibandingkan dengan sekolah dengan SPP (sumbangan pembinaan pendidikan) yang luar biasa tinggi,” kata Sri Mulyani di rapat kerja bersama DPR.

Berbagai kalangan pun bersuara untuk menolak rencana itu. Salah satunya ekonom sekaligus dosen Universitas Indonesia Faisal Basri. Ia menegaskan, pemerintah seharusnya memprioritaskan kualitas sumber daya manusia (SDM) ketimbang penerimaan pajak yang bersifat sementara. Sebab ketika SDM berkualitas, maka secara otomatis akan menghasilkan penerimaan pajak yang tinggi dan berkesinambungan.

Baca Juga  Strategi Hadapi Sengketa “Transfer Pricing” Bisnis “Freight Forwarding”

“Mau yang (sekolah) mewah, mau yang (sekolah) tidak mewah. Tetap no tax for education. Jangan karena pemerintah tidak sanggup (menghimpun pajak), maka upayanya diperluas ke private sector. Apalagi eksternalitas pendidikan itu tinggi buat kebangkitan bangsa, literasi, kemajuan teknologi, dan sebagainya. Bayangkan, 52,8 persen masyarakat Indonesia edukasinya masih insecure. Kalau gitu, dia enggak bayar pajak, utamanya PPh (pajak penghasilan),” kata Faisal.

Alumnus Universitas Vanderbilt Amerika Serikat ini mengusulkan, untuk menambah pendapatan negara dengan membidik barang-barang non-esensial, seperti peningkatan tarif rokok. Menurutnya, pendidikan merupakan barang esensial yang justru harus dikembangkan.

“Jadi kita kembali ke visi Indonesia bangkit, pendidikan nomor satu. Setidaknya swasta sekalipun kalau luar negeri mau masuk ke sini, sudah tidak usah dipajaki dulu. Itu penghematan buat rakyat Indonesia, bisa sekolah di dalam negeri tapi standarnya internasional. Termasuk paling penting juga untuk buku, betapa sengsaranya pengarang di Indonesia, tidak ada insentif sedikit pun kepada pengarang yang buat buku, misalnya tentang tax (buku). Pengarang, pajaknya luar biasa, berlapis-lapis,” kata Faisal.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *