in ,

Menilik Urgensi Evaluasi Belanja Perpajakan

Urgensi Evaluasi Belanja Perpajakan
FOTO: IST

Pandemi COVID-19 menghadirkan berbagai masalah di negeri ini. Masalah yang melanda berbagai sektor tersebut mengharuskan anggaran negara bekerja keras dalam menutup lubang dan kerusakan yang tercipta. Pajak sebagai kontributor terbesar pendapatan APBN dituntut untuk memenuhi berbagai kebutuhan subsidi yang diberikan pemerintah di masa pandemi ini. Di masa pandemi ini pula, pemerintah menganggarkan belanja perpajakan yang cukup besar.

Belanja perpajakan atau biasa dikenal dengan istilah tax expenditure adalah salah satu bentuk pengeluaran pemerintah dengan memberikan subsidi, insentif, atau fasilitas di bidang perpajakan. Salah satu bentuk belanja perpajakan yang dikeluarkan di masa pandemi ini adalah insentif pajak penghasilan final ditanggung pemerintah sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86 Tahun 2020 yang terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3 Tahun 2022.

Baca Juga  Menjernihkan Polemik Pajak THR

Selama 2020, realisasi belanja perpajakan ditambah dengan fasilitas perpajakan dalam rangka program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) berjumlah Rp290 Triliun. Sedangkan di luar fasilitas perpajakan PEN, total belanja perpajakan 2020 bernilai Rp 234,8 Triliun. Belanja perpajakan di tahun 2020 memang lebih banyak ditujukan untuk tujuan menangani pandemi dan pemulihan ekonomi nasional. Di tengah melemahnya kondisi ekonomi dan konsumsi masyarakat, jumlah tersebut cukup besar.

Selama ini pula, belanja perpajakan yang dilakukan pemerintah relatif konsisten berpihak pada dunia usaha. Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Kacaribu mengatakan bahwa pada 2020 dunia usaha menikmati 59,2% dari keseluruhan belanja perpajakan, yang 25,5% diantaranya untuk UMKM. Sedangkan sektor rumah tangga menikmati sekitar 40,8% sisanya.

Baca Juga  Mekanisme Pengajuan Gugatan ke Pengadilan Pajak Lewat Sistem e-Tax Court

Sedangkan dilihat dari detail insentif perpajakannya, belanja terbesar diberikan kepada fasilitas PPN tidak terutang untuk pengusaha beromzet di bawah Rp4,8 Miliar per tahun. Kemudian diikuti fasilitas negative list PPN untuk kebutuhan pokok, pengecualian penghasilan tertentu BPJS sebagai objek PPh, fasilitas PPh final untuk UMKM, serta fasilitas negative list PPN untuk jasa pendidikan.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *